Bahasa Using Memburu Kata

Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Sabtu, 25 Juli 2020 08:36 WIB)
- Opini



Bagaimana bahasa berkembang? Salah satunya melalui serapan dan istilah yang diciptakan, melemparnya ke masyarakat yang nantinya akan menentukan istilah tersebut diterima atau tidak. Dalam kasus bahasa Using, banyak yang perlu dibenahi. Sejak resmi menjadi bahasa lokal yang diajarkan di sekolah awal tahun 2000an sampai keluarnya Perda No. 5 tahun 2007 tentang Pengajaran Bahasa Using di Sekolah sampai sekarang belum banyak perubahan. Buku materi ajarnya masih itu-itu saja, Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia terbitan tahun 2002 tidak pernah diperbaharui, sejak taun 2007 tidak pernah ada lagi penataran untuk guru pengajar. Yang menyedihkan sejak 2014 keluarnya Peraturan Gubernur yang hanya mengakui bahasa Jawa dan Madura untuk diajarkan di sekolah, sebagian sekolah yang sebenarnya enggan mengajarkan karena tidak mempunyai guru yang mumpuni, seakan mempunyai amunisi untuk menghentikan pengajaran tersebut. Padahal berhenti mengajarkan atau tidak, bahasa Using tetap menjadi salah satu pelajaran yang diujikan. Belum ada perintah untuk menghentikannya.

Lantas, selain pelajaran di sekolah, materi penunjang apa lagi untuk pengayaan? Beberapa kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) berinisiatif untuk membuat Lembar Kerja Sekolah. Ada pula Lembaga Paguyuban Sengker Kuwung Belambangan (SKB) yang menerbitkan buku-buku berbahasa Using, baik dongeng, novel, penunjang pelajaran sekolah, tetapi tetap beredar terbatas. Buku-buku tersebut misalnya ada di Perpustakaan Daerah tetapi juga tidak mudah dijangkau oleh guru-guru yang mengajar di daerah terpencil. Sebagai gambaran, secara geografis Kabupaten Banyuwangi luasnya sepuluh kali DKI Jakarta.

Sebagai otoritas yang menangani pengembangan bahasa, Dinas Pendidikan Nasional, tidak secara khusus memberi perhatian pada pengembangan bahasa yang digunakan kira-kira setengah dari populasi kabupaten Banyuwangi sebanyak 1,6 juta orang ini. Bahasa Using masih digunakan sebagai bahasa mayoritas sehari-hari di sekitar 12 kecamatan dari 25 yang ada sekarang.

Otoritas lain di bawah Pemda, Dewan Kesenian Blambangan (DKB) pernah menjadi lembaga yang sangat berperan pada pengembangan bahasa Using, dari sebuah bahasa lokal yang hanya menjadi pelengkap penderita, menjadi sebuah bahasa yang lengkap. DKB menerbitkan kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, buku Tata Bahasa Using, dan Tata Ejaan Bahasa Using sejak awal tahun 2000an. Sangat disayangkan sejak pergantian pengurus tahun 2000an, DKB seakan menjauh dari Bahasa Using yang pernah menjadi materi disertasi oleh Doktor Suparman Herusantosa di Universitas Indonesia berjudul “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi” tahun 1987.

Penulisan buku Tata Ejaan, Tata Bahasa serta kamus ini penting untuk menjadi dasar pijakan pengembangan sebuah bahasa. Banyuwangi (dulu bernama Blambangan) pernah menjadi salah satu kiblat penulisan karya sastra, misalnya disebut-sebut oleh Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan merujuk pada banyaknya karya sastra yang tidak bercerita seputar keraton. Misalnya, beredarnya lontar Sudamala dan versi kelanjutannya Sritanjung dan judul-judul lainnya. Blambangan merupakan surga karya-karya yang bercerita tentang rakyat biasa. Namun, setelah lewatnya era tulisan carakan (hancaraka) dan arab pegon (arab menyimpang untuk mewadahi bunyi-bunyi bahasa Jawa yang tidak ada dalam aksara Arab) menghilang pula kebiasaan orang Blambangan menulis (sastra itu artinya tulisan). Saat itu karya sastra diterbitkan dalam bahasa Jawa pertengahan.

Sejak van Ophuysen memperkenalkan ejaan tulisan Latin tahun 1901, belum tercatat munculnya karya sastra Banyuwangi lagi. Yang pertama menuliskan karya sastra lisan (sastra, sesuai artinya mestinya karya tulis) menggunakan aksara Latin dan berbahasa Using seperti bahasa yang dipakai sehari-hari oleh orang Banyuwangi sekarang adalah T. Ottolander, orang Belanda yang pernah tinggal di Licin, sebelah barat Banyuwangi. Saat ia membawa rombongan kesenian Gandrung tahun 1921 ke kongres Java Instituut di Bandung, ia memberi pengantar yang ditulis dalam majalah terbitan Java Instituut yang juga berisi 13 syair-syair lagu gandrung. Usaha yang sama dilakukan oleh Joh. Scholte seorang direktur sekolah Normalschool di Blitar yang meneliti gandrung dan membawanya dalam kongres Java Instituut tahun 1926 di Surabaya. Menurut catatan itu Scholte menulis 97 lirik gending gandrung.

Setelahnya, karya sastra baru berbahasa Using tak lagi terdengar. Dengan berbagai usaha dan naiknya kepercayaan diri orang Using sejak bupati Joko Supaat Slamet awal tahun 1970an, budaya Using kembali menggeliat dengan naiknya lagu-lagu berbahasa Using menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri mengalahkan lagu-lagu nasional dan asing. Tapi budaya lisan masih lebih kuat. Karya sastra pertama sejak diperkenalkannya Tata Ejaan Bahasa Using, ada beberapa kumpulan puisi dan sebuah novelet Pereng Puthuk Giri karya Abdullah Fauzi tahun 2005. Tahun 1990an, beredar beberapa kumpulan puisi Using, misalnya Godhong Kates.

Meskipun demikian belakangan makin banyak karya sastra novel maupun kumpulan cerita pendek dan puisi yang terbit. Dan tidak main-main. Karya sastra berbahasa Using, Agul-Agul Belambangan karya Moh. Syaiful, memenangkan hadiah Rancage kategori bahasa Jawa tahun 2017. Mengapa kategori bahasa Jawa? Karena panitia merujuk pada Peraturan Gubernur tahun 2014 tersebut. Agul-Agul Belambangan mengalahkan 19 karya berbahasa Jawa lainnya.

Kembali ke usaha pengayaan bahasa. Selain lebih dari 25 judul buku berbahasa Jawa, SKB juga mengelola satu-satunya portal berbahasa Using, yaitu belambangan.com sejak September 2019. Dalam portal tersebut juga ada versi daring kamus Indonesia-Using dan Using Indonesia. Setiap hari diterbitkan artikel, berita, tulisan kuliner, puisi, dan cerita pendek. Sampai pertengahan Juli 2020, sudah lebih dari 275 artikel yang dipublikasi.

 Miskinnya lema yang tercatat dalam kamus Using-Indonesia (sekitar 24.000 lema), bandingkan dengan bahasa Jawa (90.000an), bahasa Indonesia (120.000an) atau bahasa Sunda (150.000an) menyulitkan kerja penulisan.

Usaha memajukan bahasa ini tidak dapat dihindari karena ada kata-kata asing yang lebih baik dipilihkan padanannya daripada diserap utuh. Selain akan menghambat, menggoyahkan fungsi dan kedudukan, juga “mencemari” jati diri (Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing, Balai Pustaka 1995).

Setiap hari, redaktur belambangan.com dihadapkan pada pilihan menyerap kata asing (bisa bahasa Jawa Kuno, Jawa baru, Indonesia atau asing lainnya), atau mengajukan alternatif pilihan.

Dalam buku pedoman itu disebutkan usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan, harus bertolak dari dua gagasan. Pertama, harus ada kesinambungan antara bahasa dulu dan sekarang. Kedua, penyerapan unsur bahasa asig harus mempertajam daya ungkap. Penyerapan harus bersifat selektif.  Serapan yang baik seharusnya menggunakan bahasa yang dekat dengan bahasa Using, pilihannya bahasa Jawa Kuno (sebagai akar bahasa Using), bahasa Jawa (sebagai bahasa yang juga berkembang dari bahasa Jawa Kuno).

Pernah Belambangan.com akan mengangkat  kata desainer batik Banyuwangi. Akankah kata “desainer” diganti menggunakan kata umum, seperti “tukang gambar”, “tukang desain”, “tukang ngemal”, “tukang ngerancang”? Sementara pekerjaan desainer adalah tukang merancang, menggambar, mengemal, membatik, memotong dan menjahit baju. Semua harus dituangkan dalam satu kata.

Kata yang tersedia untuk baju adalah: kelambi, sandhangan, penganggo. Kata lainnya yang muncul adalah: penata seperti dalam bahasa Indonesia (misalnya: penata gaya atau penata suara). Tetapi kata ini mempunyai arti yang agak berbeda dalam bahasa Using. Penata sandhang berkonotasi sebagai orang yang melipat baju dan menatanya dalam lemari. Ada istilah dalam pertunjukan tradisional Banyuwangi yaitu Janger: tukang penganggo. Tetapi istilah itu terbatas artinya pada tukang yang menyiapakan baju pertunjukan janger.

Muncul usulan kata: parama, seperti dalam paramasastra (yang artinya tata bahasa). Kata ‘parama’ ada dalam kamus bahasa Using, jadi tidak masalah dengan asal-usulnya. Parama mempuntai arti: tertinggi, terbaik, istimewa, serba paling. Desainer mengandung arti kata ini.

Awalan /pa-/ ini terasa lebih Jawa kuno dari pada Using. Karena awalan /pa-/ Jawa biasanya menjadi /pe-/ dalam bahasa Using.

Jawa                    Using

Panemu              penemu

Panjaluk             penjaluk

Panengah           penengah

Panggedhe         penggedhe

Akan tetapi parama tercatat, sementara perama tidak ada. Akhirnya disepakati /paramasandhang/ sebagai usulan yang dipakai dan dilemparkan ke masyarakat pemakai bahasa. Tinggal seleksi akan dilakukan oleh masyarakat pengguna, akan terus dipakai atau dibuang.

Dari anologi /parama/ ini, muncullah beberapa lema lain:

Penata suwara= paramasuwara

Penata cahaya= paramadilah (dilah dalam bahasa Using (asal Jawa Kuno) berarti cahaya, nyala, dian, lampu kecil dan pelita.

Dan ke depan akan lebih banyak kata lagi untuk mengisi kekurangan pada kamus bahasa Using.

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Opini

Editor: Antariksawan Jusuf