Catatan Konser “Bahana Musik Banyuwangi” (bagian 1 dari 2)
Elvin Hendratha (dipublikasikan pada Rabu, 18 Mei 2022 06:54 WIB)
- Opini
Saya sengaja meluncur dari Probolinggo untuk melihat konser musik peringatan Hari Musik Dunia 2022 di Gesora Pemuda Jajag, Banyuwangi pada tanggal 14 Mei 2022. Konser sebenarnya disiarkan langsung oleh para youtuber, tapi saya ingin melihatnya langsung. Berikut catatan terkait aktivitas tersebut, yang saya tulis sesuai dengan perspektif pribadi. Saya menulis catatan ini berdasarkan klasifikasi dua kelompok, yaitu kelompok yunior terdiri dari kelompok anak-anak, muda-mudi, atau kelompok yang relatif baru belajar. Sedangkan yang kedua adalah kelompok para senior.
Malam itu pagelaran dibuka oleh Sanggar Pari Kuning yang menyajikan medley gendhing: Pari Kuning dan Deredesan. Gendhing-gendhing itu bercerita tentang kehidupan aktivitas petani. Duet pengendang tampak asik bermain-main pukulan terbang, kendati sudah ada tiga buah terbang yang juga dimainkannya saat klimak. Teknik pukul kerotogan dengan membentuk formasi, terlihat menjadi klimak pada awal rangkaian sajian yang diletakkan pada coda gendhing Pari Kuning.
Pilihan gendhing masih cukup berkorelasi dengan tema yang diangkatnya. Fragmen kecil panjak “Petani” yang disisipkan, mampu menggambarkan suasana peristiwa. Tetapi sayangnya, masih kedederan pada interpretasi gendhing Deredesan karya Sumitro Hadi. Deredesan yang memiliki kekuatan notasi yang sudah dikenal publik, digarapnya datar tanpa rasa dan klimak. Sanggar Pari Kuning memilih bermain “aman”, walaupun terdengar sepasang saron telah atraktif bermain teknik timpal sesegan, mengawal balungan selenthem.
Kekuatan Sanggar Pari Kuning terletak pada tuthukan angklungnya yang lumayan bagus. Tetapi sayangnya agak keteter pada vokal. Vokalis terkesan ngaya pada nada-nada tinggi. Sajiannya masih umum dan belum berani melakukan teknik vokal “Gandrung Style” yang wajar dan dilengkapi laik-laiknya. Konon Sanggar Pari Kuning baru mengkonfirmasikan kehadirannya pada sore hari menjelang pelaksanan.
Sementara itu kelompok Lalare Orkestra, menghadirkan 21 (duapluh satu) anak yang menyanyikan gendhing: Mapag Tamu (ciptaan NN/Sayun Sisiyanto) dan Bang Cilang Cilung (ciptaan Bs.Noerdian dan Andang CY). Lalare Orkestra sekaligus menawarkan kehadiran seorang panjak saron wanita. Seperti tak mau kalah, Sayu Wiwit (Sempu) menawarkan juga penampilan empat panjak wanitanya, membawakan gendhing Giro pembuka dan gendhing Impen-impenen (Ciptaan Andif AP).
Sedangkan penampilan Alang-Alang Kumitir mengawali penampilannya dengan opening yang indah, dengan bermain-main teknik Gembrungan sebagai pengiring salawat. Alang-Alang Kumitir sengaja mengadopsi teknik Macaan saat membawakan puji-pujian lontar. Instrumen bonang dimainkannya dengan teknik nuansa Nusantara (luar Banyuwangi). Tetapi sayang suara bonang, sempat menganggu perjalanan menuju klimak. Vokalis yang menyanyi pada laras pelog, terdengar berseberangan dengan bonang yang terdengar berlaras selendro.
Bisa jadi hal itu memang disengaja, konsekuensinya vokalis harus mampu bertahan pada jalur dengan gong sebagai penghubungnya. Hal ini sebenarnya bisa disiasati dengan tidak memainkan bonang sesaat pada tahap ini. Atau bisa juga digunakan suara instrumen perkusi non notasi, tidak memaksa kehadiran bonang untuk membiarkannya menyanyi sendiri tidak harmonis. Atau bisa juga dilakukan pilihan lain, yaitu tidak memaksa vokalis menyanyi bermain pelog dan bisa juga mengubah laras Bonang menjadi pelog. Tetapi pilihan-pilihan itu tidak dilakukan, sehingga cukup mengganggu bagian klimaknya.
Penabuh terbang Alang-Alang Kumitir masih realatif muda tetapi tampaknya sudah cukup lama berlatih, suara terbangnya terdengar relatif bagus. Terbang dimainkan dengan teknik pukul Kuntulan pada era sekarang, teknik pukul Kerotogan, Pencakan /Genjoan ataupun Timpal telu pada irama ¾ dominan mewarnai. Secara keseluruhan pengetrapan teknik pukul dan harmonisasi sudah bagus, sayangnya kemasannya terlalu datar. Saya membayangkan teknik sajiannya lebih diperkaya dengan teknik pukul terbang lama, seperti: Tirim, Yahom (Ji dan Ro), atau teknik pukul dari Tosari Banyuwangi tahun 90-an yang sudah jarang terdengar lagi, tentu saja akan lebih menarik. Sementara penyajian tema saya tengarai merupakan karya lama yang sudah sering ditampilkan berulang, peruntukan tema Maulid Nabi Muhammad SAW kurang relevan dengan acara Bahana Musik Banyuwangi yang digelar. Tetapi mengingat acara yang spontanitas dan mepetnya waktu maka masih bisa dimaklumi.
Kelompok-kelompok di atas merupakan kelompok yunior, yang terdiri dari anak-anak dan muda-mudi yang tengah belajar dan berproses. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan para senior-seniornya, karenanya mereka masih terus semangat untuk berproses. Perbaikan-perbaikan seperti : harmonisasi, dinamika, emosi, demam panggung, konsentrasi, dan ketepatan memukul wilah gamelan tentu saja akan terus diasah ke depannya. Yang cukup menarik adalah upaya mereka turut menegakkan berdirinya tonggak musik tradisional, di tengah usianya yang masih sangat muda-muda/anak-anak. Kehadiran mereka pada ajang Bahana Musik Banyuwangi cukup mewarnai pertunjukan para seniornya malam itu. Selintas menjadi semacam ajang pendadaran dan uji nyali, sekaligus keinginan menjawab tantangan fenomena panjak wanita dan panjak anak-anak. Seperti hendak berkata bahwa regenerasi musik seni tradisi di Banyuwangi sungguh sangat tidak mengkawatirkan.
Elvin Hendratha
Pemerhati musik dan penulis buku “Angklung, Tabung Musik Blambangan”.
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : Elvin Hendratha
Editor: Antariksawan Jusuf