Catatan Panjang Pecel Rawon di Meja Makan

Iraa Rachmawati (dipublikasikan pada Sabtu, 08 Februari 2020 18:01 WIB)
- Kuliner



Di Babad Tanah Jawi diceritakan Sunan Kalijaga bertemu dengan Ki Gede Pamanahan di pinggir sungai saat tengah hari.

Saat itu, Ki Gede Pamanahan menghidangkan sepiring sayuran sambel pecel dan nasi serta lauk pauk yang lain.

Sunan Kalijaga bertanya, "Hidangan apa ini?"

Ki Gede Pamanahan menjawab, "Puniko ron ingkang dipun pecel" yang artinya "Ini adalah dedaunan yang direbus dan diperas airnya"

Bahan pecel adalah sayur-sayuran yang sangat mudah ditemukan di pekarangan, sawah atau ladang.

Untuk menikmatinya, ditambahkan sambal dengan bahan dasar kacang tanah yang berbetuk pasta sehingga lebih praktis dan bisa disimpan dalam waktu lama.

Masing-masing daerah punya citarasa khas. Ada yang dominan aroma jeruk purut, kencur atau asam. Aroma khas bumbu pecel ini yang menjadikan saya bisa membedakan mana kencur mana temu kunci.

Pecel adalah lambang kesederhanaan, karena semua bahannya bisa didapatkan dengan mudah dan murah. Apalagi pecel yang penuh serat yang sangat diyakini sebagai makanan yang sangat sehat.

Pernah berpikir mengapa dinamakan pecel? Jika dimaknai secara etimologi, pecel atau pecal dapat diartikan dengan 'tumbuk' atau 'hancurkan dengan cara ditumbuk'.

Hal ini juga mendasari ada beberapa makanan nusantara yang menggunakan kata pecel tapi tidak ada sayurannya.

Sebut saja pecel pitik, makanan khas masyarakat Using saat selamatan. Atau pecel lele yang dijual di pinggir jalan. Pecak gurami dan makanan lainnya.

Dalam makanan yang menggunakan pecel selalu ada yang dihancurkan atau ditumbuk.

Sementara itu penggunaan kacang tanah di beberapa makanan nusantara tidak bisa lepas dari niaga orang-orang Tionghoa.

Kacang tanah mungkin berasal dari Tiongkok dan masuk ke Batavia sekitar tahun 1755.

Budidayanya bersamaan waktunya dengan gula tebu sekitar tahun 1778 atas jasa para pekebun Tionghoa.

Selain diolah sebagai makanan, kacang tanah juga diolah menjadi minyak yang didistribusikan ke berbagai wilayah di Jawa. Sayangnya tidak ada catatan jelas, diolah menjadi jenis makanan apa saja kacang tanah ini.

Berbeda dengan komoditas yang juga dibawa Tiongkok lainnya yaitu kacang hijau yang dijadikan hunkue dan berkembang menjadi makanan kegemaran masyarakat di perkotaan Jawa selepas abad ke-18.

Atau komoditas kedelai yang telah disebutkan pada prasasti Jawa Kuno diolah menjadi tahu.

Nah sekarang ke Rawon.

Tidak ada cerita jelas tentang rawon. Kemungkinan ini adalah makanan para raja zaman dahulu.

Mengapa? Karena salah satu bahan utama yang wajib ada yaitu keluak atau banyak orang yang menyebutnya pucung atau kepayang.

Pembuatan keluak a.k.a pucung ini sangat rumit.

Berasal dari buah pohon kepayang yang ada hanya saat musim buah saja. Buah kepayang mengandung asam sianida dalam konsetrasi yang tinggi.

Bila dimakan dalam jumlah yang banyak ujungnya adalah mabuk atau mati. Bahkan dulu racun biji buah kepayang digunakan sebagai racun di mata panah untuk berburu.

Mengolah buah kepayang menjadi keluak yang hitam prosesnya membuat geleng-geleng kepala.

Biji buah kepayang yang keras harus direbus lalu dibungkus dengan daun pisang. Kemudian diperam atau dipendam dalam tanah beberapa hari untuk menetralkan racun asam sianida.

Baru kemudian dijadikan bahan masakan rawon atau makanan-makanan lain yang berkuah hitam semacam gabus pucung, brongkos atau sup konro.

Bisakah kepayang dimakan langsung? Jangan.

Nanti kamu mabuk kepayang yang kemudian digunakan untuk menggambarkan keadaan orang yang jatuh cinta sehingga tidak mampu berpikir secara logis.

Seakan-akan baru makan kepayang.

Nah ini menjadi alasan saya mengatakan jika rawon adalah makanan raja-raja karena pembuatannya bahannya yang rumit dan tentu saja karena berbahan daging.

Karena dulu hanya para pembesar-pembesar yang makan daging berkualitas baik.

Dalam boga Jawa Kuno, keluak telah dipakai penghitam kuah rawon dan penguat cita rasa klasik.

Hingga abad ke-18, keluak sendiri laris diniagakan lintas-daerah.

Perdagangan impor biji buah pohon kepayang ini pada kurun 1774-1777 dari Banten ke Batavia mencapai 300.000 buah. Keluak bukan hanya penting bagi masyarakat Jawa Timur, tapi juga masyarakat Betawi.

Impor keluak amat berkaitan dengan kedudukan penting Pasar Banten sebagai pemasok kebutuhan konsumsi pangan bagi Batavia.

Selain keluak, komoditas lain yang dimpor ke Batavia adalah kelapa, ikan, buah-buahan, minyak, dan beras.

Bahkan keberadaan kecap yang muncul pada abad ke-18 tidak bisa menggeser posisi keluak sebagai penguat cita rasa klasik dan pemberi warna hitam pada makanan.

Sekarang kembali ke Pecel Rawon.

Apakah ini makanan asli Banyuwangi? Saya mengatakan iya karena makanan ini lahir di Kabupaten Banyuwangi.

Namun jika ditanya apakah ini makanan khas suku Using? Jelas saya menjawabnya tidak.

Sepengatahuan saya tidak ada catatan sejarah yang mencatat tentang kuliner di zaman kerajaan Blambangan. Kuliner di masa lalu diturunakn secara turun temurun melalui tutur.

Berbeda dengan kerajaan lain yang tercatat rapi.

Apalagi dulu Kerajaan Blambangan semacam hanya hidup dalam dongeng karena alasan politis yaitu tidak bisa dikuasai Majapahit.

Saya hanya menemukan pola kuliner masyarakat Using yaitu makanan-makanan yang diolah secara sederhana dari sumber makanan yang ada di sekitar.

Proses pembuatannya juga tidak rumit.

Pecel Rawon adalah kategori dari fusion food yaitu metode menyajikan hidangan yang menggabungkan dua atau lebih cita rasa kuliner yang berbeda sehingga menghasilkan sensasi baru.

Konon, hanya chef yang handal dan memiliki kemampuan memasak tingkat tinggi untuk menggabungkan makanan dan gaya memasak.

Dan fusion food ini banyak ditemukan di Banyuwangi. Selain pecel rawon, sebut saja rujak soto, pecel kare, rujak bakso, atau sego cawuk.

Beragamnya kuliner Banyuwangi yang ada di meja makan mencerminkan betapa masyarakat Banyuwangi sangat beragam dan bisa menerima perbedaan.

Banyuwangi akan terus 'melahirkan' fushion food-fushion food baru.

Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur dan di Pulau Jawa. Bahkan lebih luas dari pulau Bali dengan garis pantai yang panjang dan memungkinkan sekali ada akulturasi makanan yang akan menghasilkan makanan baru.

Saya membuat catatan ini pagi-pagi sekali sambil membayangkan seporsi pecel rawon dengan potongan empal atau paru.

Kuahnya panas dengan tambahan sambal super pedas serta segelas teh hangat.

Namun saya harus menerima kenyataan jika sarapan saya pagi ini adalag semangkok nestum dari gandum yang dicampur dengan susu cair coklat. Berdamai dengan kenyatan.

Foto:

Diambil dari akun instagram Banyuwangi Kab saat festival kuliner Selasa (23/4/2019). Jika ada yang bilang ah nggak sama dengan pecel rawon yang ada di warung. Tentu saja beda. Di warung kita hanya butuh makan dan Kenyang.

Tentu foto ini untuk kebutuhan konten.

Selamat makan!

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Editor: Antariksawan Jusuf