Diftong dan Serupa Diftong dalam Bahasa Using

Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Rabu, 20 November 2019 17:10 WIB)
- Kolom Bahasa Using



Dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Using, Hasan Ali  menyebutkan bahwa dalam Bahasa Using (paling tidak mulai tahun 1980an saat bahasa Using menjadi obyek penelitian Suparman Herusantosa untuk disertasinya di UI berjudul Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi tahun 1987) tidak ada fonem diftong (vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata, seperti /ai/ atau /au/). Tetapi dalam ujaran, terdapat alofon fonem /i/ dan /u/ yang berbunyi /ai/ dan /au/  dengan catatan apabila fonem tersebut terdapat pada kata-kata lepas, atau pada akhir frasa atau klausa.

 

/iki/ ‘ini’ bisa dilafalkan [iki] atau [ikai]

/iku/ ‘itu’ bisa dilafalkan [iku] atau [ikau]

Sementara, /iki kelendi/ dilafalkan [iki kelendi] atau [iki kelendai/

[ai] atau [au] di situ bukan dianggap diftong tetapi lebih alofon dan sebagai ciri bunyi saja karena tidak mengubah arti kata. Sementara diftong akan mengubah arti katanya.

Dalam buku Cara Penulisan dan Pengucapan Kata-Kata Belambangan  yang disusun oleh Pak Endro Wilis, bunyi serupa diftong ini diistilahkan ‘meliuk lemas (di-elukkan)’. Fonem /u/ dan /i/ disebut huruf Sandhang Serana. Bisa dimaklumi karena Endro mendasarkan penulisan bukunya berdasar pada abjad tulisan Jawa. Susunan huruf tidak memakai huruf: a,b,c,d dst., tetapi: h,n,c,r,k (ha na ca ra ka) dan seterusnya.

Bahasa Using lama (sekitar tahun 1910-an saat Babad Notodiningratan  ditulis) yang dicatat oleh Bupati Notodiningrat,  malah punya ciri serupa diftong pada bunyi lain yang sekarang tidak ada, yaitu /e/ yang berbunyi [ae] dan /o/ yang berbunyi [ao] dan /A/ yang berbunyi [Ao].

Misalnya:

/merene/ ‘ke sini’ dilafalkan [merenae]

/soto/ dilafalkan [sotao]

/silA/ ‘bersila’ [silA] dilafalkan [silao]

Dalam bahasa Using saat ini, bunyi kata yang berakhir dengan suara /é/ dan /o/ atau /A/, dibunyikan dengan tambahan /k/ [?]  (glottal stop). Ciri bunyi serupa diftong sepertinya sudah tidak dipakai lagi. Jadi:

/merene/ diucapkan [merene?]

/soto/ diucapkan [soto?]

/silA/ diucapkan [silA?]

Diftong dalam Bahasa Using

Tidak seperti yang disimpulkan oleh Hasan Ali, ternyata diftong ada dalam bahasa Using. Khususnya diaplikasikan untuk menunjukkan intensitas.

Bahasa Using mengenal beberapa diftong:

a. Diftong /ui/

/cilik/ ‘kecil’

/cuilik/ ‘amat kecil’

/cilil/ ‘sangat kecil lebih kecil dari cilik’

/cuilil/ ‘amat sangat kecil’​​​​​​​

b. Diftong /uo/

/adoh/ ‘jauh’ 

/aduoh/ ‘amat jauh’​​​​​​​

c. Diftong /ua/

/akeh/ ‘banyak’ 

/akueh/ ‘amat banyak’​​​​​​​

d. Diftong /ue/

/enjong/ ‘enak’

/uenjong/ ‘amat enak’​​​​​​​

Meski menyatakan intensitas, diftong tak hanya berlaku untuk kata sifat. Muncul juga pada kata kerja.

Misalnya: 

Sore iyane dikuampleng ring bapake ‘Kemarin ia ditempeleng dengan keras oleh ayahnya’​​​​​​​

/kampleng/ ‘tempeleng’ 

/kuampleng/ ‘tempeleng dengan keras’

*dengan permohonan maaf karena keterbatasan sistem, bunyi tidak ditampilkan dengan huruf fonetis

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Suparman Herusantosa, 1987, Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, UI disertasi tidak diterbitkan; Endro Wilis, 2001, Cara Penulisan dan Pengucapan Kata-kata Belambangan, Pusat Studi Budaya Banyuwangi; Hasan Ali, 2006, Tata Bahasa Baku Bahasa Using, Pemda Banyuwangi