Disertasi Dr. M. Isfironi Tentang Gandrung Sewu (Bagian Terakhir))

Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Sabtu, 25 Oktober 2025 07:57 WIB)
- Opini



Disertasi Dr. M. Isfironi Tentang Gandrung Sewu (Bagian terakhir)


Ater-Ater: Dr. Mohammad Isfironi, ngelakoni studi S3 ring UGM kelawan disertasi bab Gandrung Sewu taun 2024. Ringkesan disertasine diuwot mulai dina iki sampek dina Sabtu kisuk. Lare Banyuwangi hang dadi dosen ring UIN Sunan Ampel Surabaya iki mulang ring FISIP lan Fakultas Syariah dan Hukum.

F. Memfestivalkan Kebudayaan Banyuwangi

Pemerintah daerah, sejak diterbitkannya UU otonomi daerah, merespons dengan berbagai macam upaya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah. Saat pemerintah kabupaten Banyuwangi mengidentifikasi besarnya potensi seni-budaya masyarakatnya, maka segala upaya dilakukan untuk menarik keuntungan darinya. Memfestivalkan kebudayaan Banyuwangi menjadi pilihan strategis yang memiliki dua manfaat sekaligus, yaitu sebagai upaya konservasi dan kapitalisasi. Dalam hal ini pemerintah daerah menempatkan diri sebagai fasilitator, motivator dan preservator (Simatupang, 2013: 275). Sebagai fasilitator, pemerintah daerah menciptakan situasi dan menyediakan sarana dan prasarana yang memungkinkan para pelaku seni-budaya melakukan aktivitasnya secara berkelanjutan. Dalam fungsinya sebagai motivator pemerintah diharapkan dapat secara langsung mengikuti proses kreatif, menjadi pendorong sekaligus teladan dalam tindakan seni-budaya. Sedangkan fungsi preservator penting dalam rangka menumbuhkan kesadaran historis terutama bagi ekspresi budaya yang terpinggirkan agar dapat mengikuti laju perkembangan zaman.
   Dari sisi masyarakat, warga Banyuwangi secara alamiyah telah memiliki hasrat seni-budaya yang terus hidup. Bagi warga Banyuwangi terutama yang berada dalam kultur Osing, seni budaya merupakan bagian dari kehidupan seharihari. Seperti di Bali, seni-budaya adalah ibadah, di Banyuwangi seni-budaya adalah kehidupan sehari-hari. Seorang Osing dicitrakan berbudaya agraris yang memiliki keterampilan hidup yang khas.    
   Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa jadi adalah seorang petani, nelayan, tukang kayu, guru, pegawai negeri atau lainnya. Namun di sisi lainya saat tidak sedang bekerja mereka adalah pada pelaku seni budaya, seperti pemain gamelan Banyuwangi, penari, pemain barong atau penabuh rebana sebuah perkumpulan hadrah kuntulan. Di sisi lain, pemerintah daerah Banyuwangi dalam menjalankan tiga fungsi yang mungkin dilakukan cenderung melihat kegiatan seni-budaya masyarakat Banyuwangi sebagai objek komersialisasi dalam rangka menjalankan agenda pembangunan pariwisata. Pandangan ini dalam praktiknya berpengaruh terhadap sikap para pelaku seni-budaya di Banyuwangi. Terlalu dominannya pemerintah daerah dalam merancang pergelaran seni-budaya untuk sebuah ajang pariwisata
mengundang pro-kontra di kalangan pelaku seni-budaya. Setiawan dan Subahariyanto (2018) dalam laporannya menggambarkan bahwa pergelaran Banyuwangi Ethno Carnival tahun 2011 kurang partisipatif sehingga para pelaku seni-budaya tidak dapat menangkap maksud pemerintah daerah secara utuh.
Mengemas seni-budaya dan adat istiadat masyarakat Banyuwangi sebagai bahan baku industri pariwisata terus bergulir tanpa hambatan yang serius sepanjang kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas. Wacana yang bersifat substansial tentang konservasi seni-budaya di Banyuwangi tertutupi dengan upaya mengemas seni-budaya agar sesuai dengan selera pasar pariwisata. Secara resmi, pemerintah daerah juga mengakui bahwa booming pariwisata Banyuwangi lebih banyak dipicu oleh rangkaian penyelenggaraan seni-budaya dan kegiatan olah raga yang dikemas dalam Banyuwangi Festival (Setianto, 2018: 27) Dengan pemahaman yang demikian, pemerintah Daerah Banyuwangi melalui dinas Kebudayaan dan Pariwisata merumuskan even-even yang dimasukkan dalam rangkaian Banyuwangi Festival dalam kategori massif yang berbasis seni-budaya dan antara lain: Banyuwangi Ethno Carnival (BEC), Gandrung Sewu dan Festival Kuwung.
   Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya memfestivalkan kebudayaan Banyuwangi adalah upaya komersialisasi seni-budaya, adat istiadat dan seluruh potensi yang menarik wisatawan. Minat wisatawan berkunjung ke Banyuwangi diasumsikan menjadi faktor penggerak yang memiliki efek domino terutama bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. ”Semua event Banyuwangi Festival bermuara pada tujuan utama untuk menggerakkan perekonomian warga” (Anas, 2020: 192)1. Selain ekonomi bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Seni-budaya dianggap penting karena dipandang sebagai alat mencapai tujuan yang potensial dan menarik. Pencapaian
tujuan tersebut merupakan hasil relasi antara kebudayaan, pemerintah daerah dan kebijakan. Pariwisata di Banyuwangi adalah payung pembangunan daerah, karenanya setiap dinas adalah dinas pariwisata (Anas, 2020: 184). Mengacu pada realitas faktual dan klaim keberhasilan pembangunan pariwisata oleh pemerintah daerah, dapat dimaknai secara kuat bahwa memfestivalkan kebudayaan Banyuwangi paralel dengan mempariwisatakan Banyuwangi.

G. Kesimpulan
Penelitian ini telah menggambarkan bahwa para elit di Banyuwangi dalam membangun identitas kebudayaannya selalu mengacu kepada Blambangan. Pengetahuan tentang sejarah Blambangan dari beberapa karya historiografi yang otoritatif secara akademik memberikan sebuah keyakinan bahwa Blambangan bukan lagi sebagai sebuah legenda sebagaimana selama ini dipahami oleh kebanyakan masyarakat Banyuwangi, namun sebuah fakta sejarah. Pengetahuan
sejarah masa lalu tersebut membawa sebuah kesadaran dan mendorong hasrat di kalangan elit menjadikan Blambangan sebagai inspirasi dalam proses pembentukan identitas kebudayaannya.
   Hasrat atau desire dalam konsepsi Deleuze dan Guttari merupakan daya kehidupan yang menjadi sumber kreativitas. Hasrat ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang merusak, namun hasrat yang selalu berproduksi. Konsepsi tentang hasrat ini menggambarkan watak wong Osing yang memiliki karakter ‘autis”.
   Watak ini yang menjadikan hasratnya dalam bidang seni budaya dan adat istiadat tidak pernah mati sebagaimana tergambar di sepanjang sejarah kebangkitan kebudayaan di Banyuwangi. Melalui pengamatan terhadap pergelaran Gandrung Sewu nampak faktor-faktor, nilai-nilai, serta makna munculnya kebangkitan kebudayaan Banyuwangi.
   Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada tiga faktor pembentuk identitas
kebudayaan di Banyuwangi, yaitu: sejarah, religiusitas, gagasan natural orang Osing serta dukungan pejabat. Elemen pembentuk identitas kebudayaan di Banyuwangi tersebut dinarasikan secara dinamis mengikuti kekuasaan yang mendominasi. Sehingga setiap pergantian rezim dalam lintasan sejarah tersebut selalu mempengaruhi wacana kebudayaan di Banyuwangi.
   Gandrung Sewu sebagai sebuah seni pertunjukan dikembangkan dari kesenian Gandrung. Pengembangan kesenian Gandrung hingga menjadi Gandrung
Sewu di Banyuwangi dilakukan melalui pemaduan berbagai hasrat diantara elit
seperti elit budayawan, seniman, birokrat dan pemerhati sejarah/intelektual lokal bahkan elit agama yang saling bersilangan. Melalui pagelaran Gandrung Sewu, berbagai hasrat elit serta keterlibatan berbagai stakeholder di Banyuwangi membentuk citra baru Banyuwangi sekaligus menghilangkan beban masa lalu yang menjadi stigma masyarakat Banyuwangi.
   Munculnya Gandrung Sewu sebagai sebuah perwujudan dari identitas kebudayaan Banyuwangi merupakan tahap lebih lanjut dari apa yang disebut dengan munculnya kebangkitan identitas kebudayaan. Secara diakronik sejarah munculnya kesadaran identitas kebudayaan Banyuwangi dibagi menjadi empat fase, yaitu: fase pra kolonial, fase kolonial dan fase pasca kolonial serta fase booming pariwisata saat Kabupaten Banyuwangi dipimpin oleh Bupati Abdullah
Azwar Anas (2010-2020). Berbagai fase tersebut menggambarkan tiga model
pemicu munculnya kebangkitan identitas kebudayaan dari Manuel Castells, yaitu
model legitimizing identity, resistance identity dan project identity.
   Pada fase pra-kolonial Banyuwangi dicitrakan merupakan bagian dari Jawa
lama yang terepresentasi pada Majapahit. Dari sejarah dan keterkaitannya dengan
kerajaan Majapahit ini memunculkan legenda dan berbagai stigma Jawa terhadap Blambangan atau Banyuwangi. Salah satu stigma terhadap Blambangan tergambar pada cerita dalam seni pertunjukan Menakjingga-Damarwulan yang bersumber dari Babad Blambangan. Cerita yang dikenal masyarakat Banyuwangi pada awal abad ke-20 ini menampilakan sosok pribadi raja Blambangan Menakjingga yang antagonistik yang berhasil dikalahkan oleh tokoh protagonist Damarwulan dari Majapahit. Naskah cerita Damarwulan ini sesungguhnya lebih merupakan persoalan psikologis dan kreativitas seni masyarakat di istana Surakarta.
   Cerita Damarwulan ini menjadi olok-olok bagi masyarakat asli di Banyuwangi terutama saat kesenian ini dipopulerkan secara sistematis oleh kekuasaan Belanda. Berbagai stigma dari pihak luar, sentimen etnik, agama, legenda dan mitologi serta berbagai peristiwa politik sepanjang sejarahnya mendorong identifikasi diri masyarakat Banyuwangi sebagai keturunan asli orang Blambangan yang berbeda dengan orang Bali, Jawa dan Madura. Bahkan orang Banyuwangi mengklaim memiliki bahasa sendiri yang disebut cara Osing yang karenanya disebut Wong Osing.
   Pada fase selanjutnya, kehadiran kolonial Belanda membentuk cara baru melihat kekuasaan dan kebudayaan mengalami perubahan orientasi karena Islamisasi menguat bersamaan dengan pengintegrasian Banyuwangi dalam kekuasaan kolonial. Sebagai sebuah strategi, Islamisasi telah dilakukan sejak pengangkatan Sutanagara pada tahun 1768 oleh Kompeni sebagai Bupati Blambangan, walaupun kurang berhasil karena Sutanegara penganut Hindu yang taat yang tidak mengikuti skema Gezaghebber Luzac yang mengharuskannya masuk Islam.
   Bila pada fase sebelumnya masyarakat Osing berada dalam dominasi Jawa
dan terjadi "subject bullying" yang menyebabkan wong Osing menjadi cenderung “autis” yaitu suatu sikap yang lebih fokus ke dalam diri. Sikap ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari wong Osing yang sangat konsisten terus merawat senibudaya dan tradisi di tengah berbagai stigma yang menjadikan budaya Osing disubordinasi kebudayaan Jawa-Mataram. Suasana di era ini merupakan ajang penanaman ideologi kiri yang mempengaruhi dan menjadi faktor penting senibudaya dan tradisi di Banyuwangi berkembang sampai masa puncaknya tahun 50-an. Namun era ini tidak berlangsung lama, sampai pada akhirnya berubah saat munculnya kekuasaan orde baru yang diawali dengan tragedi G30S. Tragedi ini memberikan dampak traumatik pada pelaku seni-budaya dan tradisi di Banyuwangi. Pasca tragedi G30 S, watak heroik ekspresi seni-budaya dan tradisi wong Osing berubah lebih berkarakter melankolis dan romantik yang menonjolkan estetika. Karakter ini menemukan momennya saat pariwisata, booming di Banyuwangi terutama saat kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas (2010-2021) yang mengusung seni-budaya dan tradisi Osing sebagai ikon utama dari Banyuwangi Festival. Upaya menjadikan seni-budaya dan tradisi Osing telah dimulai sejak Bupati era Orde Baru yang pertama, Joko Supaat Slamet. Di awal Reformasi menjadi menonjol saat kepemimpinan Bupati Samsul Hadi (2000-2005) yang mengaku sebagai putra asli Osing.
   Selanjutnya seni-budaya dan tradisi Banyuwangi dikembangkan diantara dua
tujuan, di satu sisi tujuan konservasi dan di sisi lain tujuan komodifikasi.
   Keduanya dilakukan secara bersamaan, karena bagi rezim yang sedang berkuasa
seni-budaya dan tradisi seharusnya tidak hanya menggambarkan hasrat seni saja,
namun juga memiliki implikasi ekonomi bagi masyarakat Banyuwangi secara umum. Saat kebijakan pembangunan pariwisata dicanangkan, gandrung yang dipandang paling memiliki keterkaitan secara emosional dengan masyarakat Banyuwangi dipilih menjadi salah satu komoditas andalan yang ditawarkan pada pasar pariwisata. Upaya pengemasan seni-budaya sebagai komoditas dalam pasar pariwisata ini berkembang dan berkesesuaian dengan ide konservasi adat dan seni budaya di Banyuwangi. Upaya yang dilakukan oleh Bupati Anas umumnya dapat dipahami dan dimengerti oleh para pelaku seni-budaya serta pemerhati seni budaya di Banyuwangi.
   Wong Osing yang kreatif dan kaya gagasan serta pandai sekali meramu kreativitas budaya terus berkembang di tengah masyarakat Banyuwangi yang plural secara etnik. Bagi warga Banyuwangi terutama yang berada dalam kultur Osing, seni budaya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Seperti di Bali, seni-budaya adalah ibadah, di Banyuwangi seni-budaya adalah kehidupan sehari-hari. Dengan keyakinan dan hasrat yang kuat para seniman terus menjadi tulang punggung tumbuh kembangnya seni-budaya di Banyuwangi. Hasrat inilah yang menjadi daya hidup, Élan Vital yang memungkinkan kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi kegiatan seni-budaya dan adat istiadat terus berlangsung hingga kini. Keunikan ini menjadi nilai tambah tersendiri,
kebudayaan Osing mampu menampung gagasan pluralistik saat dibutuhkan
sebuah identitas kebudayaan di tengah formasi etnik baru di Banyuwangi.

Daftar Pustaka
Anas, Azwar, Abdullah. 2019. Anti Mainstreaming Marketing: 20 Jurus
Mengubah Banyuwangi. Jakarta. Gramedia
Anas, Azwar, Abdullah. 2020. Creative Collaboration: 10 Tahun Perjalanan
Transformasi Banyuwangi. Jakarta. MIZAN
Anoegrajekti, Novi. 2007. “Patung itu bukan penari”, Srinthil 12: 70–87.
Anoegrajekti, Novi. 2016. Optimalisasi Seni Pertunjukan: Kontestasi Negara,
Pasar dan Agama. Orasi Ilmiyah Pengukuhan Profesor llmu Sastra Indonesia FIB Universitas Jember 12 Januari 2016.
Abercrombie, Nicholas dkk. 2006. Kamus Sosiologi. ter. Desi Noviyani dkk.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Arifin, Partaningrat, Winarsih. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta. Bentang
Arps, Bernard. 1992. Yusup, Sri Tanjung, And Fragrant Water: The Adoption Of
A Popular Islamic Poem In Banyuwangi, East Java. In Houben et.al. (ed.)
Looking The Odd Mirrors: The Java Sea. Rijksuniversiteit te Leiden. Vakgroep
TaIen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie
Arps, Bernard. 2006. “Dance-foor politics in easternmost Java”, IIAS Newsletter
40 (March): 11.
Arps, Bernard. 2009. Osing Kids and the banners of Blambangan Ethnolinguistic
identity and the regional past as ambient themes in an East Javanese town.
Wacana, Vol. 11 No. 1 (April): 1—38
Arps, Bernard. 2010. Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan
Media Elektronik di Dalamnya (Selayang pandang 1970-2009). Dalam
Mikihiro Moriyama dan Manneke Budiman. 2010. Geliat Bahasa Selaras
Zaman : Perubahan Bahasa-bahasa di Indonesia Pasca Orde-Baru. Tokyo.
ICLAA Tokyo University.
Atmaja, Bawa, Nengah. 2010. Ajeg Bali: Gerakan Identitas Kultural dan
Globalisasi. Yogyakarta. LkiS.
Beatty, Andrew. 1999. Varieties of Javanese Religion. An Anthropological
Account. Cambridge. Cambridge University Press.
Bottomore, T.B. 2006. Elit dan Masyarakat. Jakarta. Akbar Tanjung Institut
Castell, Manuel. 2004. The Power of Identity. Malden. Blackwell Publishing.
De Graaf, HJ. dan Pigeaud, TH, G, TH. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta. Grafitipers
Deleuze, G. and Guattari, F. 1972. Capitalisme et Schizophrénie 1: L’AntiOedipe. Paris: Editions du Minuit ; translated by Robert Hurley, Mark Seem
and Helen R. Lane. (1977). Capitalism and Schizophrenia 1 : Anti-Oedipus.
New York: Viking.
Deleuze, G. and Guattari, F. 1980. Capitalisme et Schizophrénie 2: Mille
Plateaux. Paris: Editions du Minuit; translated Brian Massumi. (1987).
Capitalism and Schizophrenia 2: A Thousand Plateaus. Minneapolis:
Minnesota University Press.
Fetterman, D.M., 1989. Ethnography: Step by Step. Sage Publications, Inc
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, ter.
Aswab Mahasin. Jakarta. Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 2000. Negara Teater. Yogyakarta. Bentang Budaya
Hall, Stuart. 1990. ‘Cultural Identity and Diaspora’ . dalam Jonathan Rutherford
(ed.) Identity:  Community, Culture, Difference. London. Lawrence & Wishart
Limited. 222-237
Lekkerkerker, C. 1923. Blambangan, de Indische Gids II. Amsterdam: De Bussy
Margana, Sri. 2007. Java's Last Frontier: The Struggle for Hegemony Of
Blambangan, c 1763 - 1813. Disertasi. Ph.D Universiteit Leiden.
Margana, Sri. 2012. Ujung Timur Jawa, 1763-1813 Perebutan Hegemoni
Blambangan. Yogyakarta. Pustaka Ifada.
Margana, Sri. 2015. Outsider and Stigma: Reconstruction of Local Identity in
Banyuwangi dalam Susan Legêne, Bambang Purwanto & Henk Schulte
Nordholt, Sites, Bodies and Stories: Imagining Indonesian History (Singapore,
NUS Pres Pte LTD, 2015).
Masyhudi. 2007. Menjelang Masuknya Islam di Ujung Timur Pulau Jawa.
Berkala Arkeologi. Volume 27. No. 1.

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Editor: Hani Z. Noor