Gandrung dan Peran Java-Instituut

Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Sabtu, 19 Oktober 2019 13:54 WIB)
- Esai



Membicarakan sejarah tertulis dan rujukan jaman dahulu tentang salah satu ikon Banyuwangi yaitu Gandrung,  tidak lepas dari peran Java-Instituut,  sebuah lembaga yang didirikan tanggal 4 Agustus 1919 di Surakarta. 
Pendirinya antara lain P. A. A. P.  Prangwadono (kelak Mangkunagoro VII),  R. Dr.  Hoesi  Djajadiningrat,  R.  Sastrowidjono,  dan Dr.  F. D. K.  Bosch. 
Anggaran Dasar Java-Instituut menyebutkan tujuan utama lembaga itu adalah mendorong perkembangan kebudayaan Jawa,  Madura,  Sunda dan Bali dalam arti seluas-luasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga ini mengumpulkan dan menyebarkan segala macam informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan Jawa,  Sunda,  Madura dan Bali. Kegiatannya meliputi kongres,  pameran,  ceramah,  sayembara,  pagelaran wayang,  penerbitan majalah dan buku,  serta penyelenggaraan museum dan sekolah kerajinan tangan. 
Dalam beberapa penyelenggaraan kongres, dua kali, yaitu Kongres tahun 1921 dan 1926 itulah gandrung Banyuwangi dibicarakan. 
Awalnya kongres tahun 1921, seorang Belanda yang sudah menikah dengan orang Blambangan dan tinggal di Licin Banyuwangi, anggota ahli dari Java-Instituut  T.  Ottolander, tidak banyak bercerita mengenai gandrung karena ia menyatakan miskinnya rujukan tentang gandrung. Ia bahkan menemukan kesulitan besar saat panitia meminta terjemahan gending-gending gandrung,  karena banyak kata-kata dalam dialek Banyuwangi yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Juga tidak adanya studi sejarah dan etnografi musik gandrung. Karena permintaan menuliskan lirik gandrung ini,  Ottolander tercatat sebagai salah satu orang yang menuliskan teks karya sastra (bentuk tertulis) Banyuwangi menggunakan aksara latin.  Ada 13 lagu berbahasa Using yang dicatatnya. Sebelumnya,  karya sastra Blambangan ditulis menggunakan huruf carakan (hanacaraka)  atau huruf arab pegon,  huruf arab menyimpang untuk mengakomodasi bunyi-bunyi bahasa Jawa. 
Akhirnya Ottolander,  yang memberi judul pengantarnya "Gandroeng van Banjoewangi"  sukses menggelar pertunjukan gandrung yang pertama dilaksanakan di luar Banyuwangi. Meski bisa dibayangkan susahnya membawa rombongan panjak yang sehari-hari berprofesi sebagai petani dan penari remaja yang harus dijaga oleh anggota keluarganya. Perjalanan dari Banyuwangi ke Bandung pasti memerlukan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu saat itu. 
Gambaran lebih lengkap mengenai gandrung,  termasuk sejarah,  musik dan perbandingannya dengan kesenian serupa di Jawa,  ditulis oleh Joh.  Scholte. 
Tahun 1926,  kongres di Surabaya menampilkan Scholte peneliti gandrung yang dalam ceramahnya yang berjudul sama dengan Ottolander "Gandroeng van Banjoewangi" menceritakan gandrung mulai musik pengiringnya, sejarah dan bagaimana tarian gandrung dilaksanakan.  
Orang Banyuwangi kemudian mempunyai rujukan siapa gandrung perempuan yang tampil pertama tahun 1895, yaitu Semi anaknya Mak Midah penduduk Cungking yang beragama Hindu Jawa,  juga dari ceramahnya di kongres tersebut. 
Juga ucapan langsung dari mulut Mak Midah yang jadi melegenda,  tentang bagaimana mulanya gandrung perempuan, yaitu karena Semi yang masih berumur 10 tahun menderita sakit yang amat berat dan tak ada obat: "Adhung Sira mari,  Sun dadekena seblang,  kadhung sing mari ya using." 
Scholte juga menceritakan, dulunya gandrung biasanya ditarikan oleh perjaka yang berkeliling dari kampung ke kampung bersama para panjaknya dan dihadiahi beras oleh penonton. Dari informasi ini,  para budayawan Banyuwangi mengambil kesimpulan bahwa gandrung sebenarnya alat perjuangan sejak jaman dahulu. 
Karena apa? Jaman dahulu belum ada alat untuk menyebarkan informasi,  jadi lewat mulut para gandrung inilah informasi disebarkan. Lewat mulutnya alias lewat nyanyian lirik lagu-lagunya! 
Lagu "Padha Nonton" umpamanya diyakini untuk menggugah dan membangkitkan semangat para pemuda untuk melawan penguasa,  yang dalam lagu itu disebut Ki Demang,  yang sudah dimabukkan di Paseban oleh kenikmatan dan kesewenangan,  begitu kata almarhum Hasan Ali,  mantan ketua Dewan Kesenian Blambangan. 
Misalnya lagi syair perjuangan yang lain:

 Seblang Lukinta

Wis wayahe bang-bang wetan
Kakang-kakang ngelilira
Wis wayahe sawung kukuruyuk

Lawang gedhe wonten hang njagi
Medala lawang butulan

Wis biyasahe momong adhine
Sak tinjak baliya mulih

Kata Pak Hasan: syair ini terang-terangan mengingatkan pada perlawanan dan taktik perang gerilya. 

Lirik tersebut kira-kira bisa diintepretasikan begini:

Pintu gerbang ada yang menjaga/Lewatlah pintu belakang/Sudah biasa mengasuh adiknya/ Selangkah maju terus bergerak mundur. 

Scholte, yang berprofesi sebagai Direktur Normalschool di Blitar itu juga mengatakan:
"Para penari menari mengikuti irama yang agak cepat yang diperdengarkan oleh beberapa instrumen ketuk tadi,  dan mereka menari bersama seorang pasangan.  Pasangan gandrung mendapatkan haknya itu dengan cara melemparkan sejumlah uang terlebih dahulu ke dalam sebuah piring lebar dan datar dan dengan jalan itu sekaligus memberi hak padanya untuk dimainkan sebuah gending tertentu. "
Scholte mencatat lebih dari 97 gending-gending gandrung. 
Bagaimana ceramah Scholte menerangkan soal gandrung,  memaksa kita pewaris kesenian ini untuk menjadikannya bagian budaya yang harus dilestarikan. 
"Para gandrung adalah putri-putri orang Using,  suatu suku bangsa yang harus dianggap sebagai sisa-sisa orang Blambangan... Nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang... Nama yang paling tepat untuk mereka adalah orang Blambangan."

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Katalog foto Java-Instituut; Gandroeng van Banjoewangi, T. Ottolander, 1921; Gandroeng van Banjoewangi, Joh. Scholte, 1926; Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi, Sebuah Laporan, Hasan Ali, 1991

Editor: Hani Z. Noor