Gang Koes Plus Banyuwangi dan Anak-Anak Muda Pembuat Perubahan

Iraa Rachmawati (dipublikasikan pada Minggu, 19 Januari 2020 11:47 WIB)
- Opini



Tidak banyak yang tahu jika di Banyuwangi ada sebuah gang kecil yang bernama Gang Koes Plus yang berada di jalan KH Wahid Hasim, Kota Banyuwangi.

Gang Koes Plus tembus ke jalan dari Sutomo sebelah utara atau tepatnya Simpang Lima arah ke Taman Blambangan. Saya penasaran dan ingin tahu asal muasal sejarah dari gang kecil tersebut.

Gang tersebut muncul pada tahun 1970-an.

Saat itu Koes Plus, grup musik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1969 sedang moncer-moncernya. Anak-anak muda yang tinggal di "jalan tikus" tersebut sering menyanyikan lagu-lagu milik Koes Plus saat nongkrong di mulut gang.

"Sekarang masih ada beberapa anak-anak muda dulu yang masih hidup. Ada Hariyono. Itu ketuanya dulu. Kalau sekarang mungkin kategori anak nakal. Mereka usianya dibawah saya," kata Mbok Uun, perempuan kelahiran 1948.

Mbok Uun adalah mantan penyiar RKPD yang lahir dan besar di gang kecil tersebut.

Mbok Uun bercerita gang kecil tersebut diberi nama Koes Plus sebelum dia menikah pada tahun 1975. Ada kemungkinan nama Gang Koes Plus muncul sekitar tahun 1973.

Pemberian nama dilakukan begitu saja oleh anak-anak muda tersebut dengan menulis nama "Gang Koes Plus" di kertas karton menggunakan spidol.

Tentu saja kertas karton bertuliskan Gang Koes Plus usianya tidak lama. Kurang dari seminggu kertas itu sudah rusak.

Akhirnya nama gang diubah dengan triplek agar lebih awet. Selain itu lagu Koes Plus menjadi lagu wajib saat gitaran dan nongkrong di gang itu.  Warga di gang kecil itu juga sering memutar lagu-lagu Koes Plus dengan pengeras suara dari rumahnya.

"Semuanya berjalan begitu saja hingga hari ini dikenal dengan Gang Koes Plus," kata Mbok Uun.

Nama Gang Koes Plus pun akhirnya digunakan untuk alamat surat menyurat untuk mereka yang tinggal di sana.

Pada tahun 2007, Mbok Uun pindah dari Gang Koes Plus ke Kelurahan Bakungan. Namun dia mengaku masih lekat ingatannya tentang Gang Koes Plus.

Menurutnya, di sebelah timur Gang Koes Plus ada bekas bangunan jaman Belanda yang sering di sebut Dekrei oleh masyarakat sekitar.

Dekrei kemungkinan adalah bekas bangunan percetakan.

Selain itu Mbok Uun masih ingat sekitar tahun 1976-an, Gang Koes Plus dipenuhi dengan pohon pisang, pohon sukun serta rumpun bambu ke arah selatan.

Ada juga "awu-awuan" yaitu jurang kecil untuk pembuangan sekam padi dari pabrik penggilingan padi yang ada di wilayah Cungking.

"Kalau dari utara masuk ke gang Koes Plus pasti lewat bambu-bambuan dan Awu-awuan," kisahnya.

Januari 2018. Saya menyempatkan parkir motor di depan gang Koes Plus dan jalan kaki menelusuri gang kecil tersebut. Ada sebuah tembok warga yang ditulis "Why Do you Love Me" yang diambil dari judul lagu yang sempat dipopulerkan oleh Koes Bersaudara.

Saya tersenyum sendiri. Koes Plus Garis Keras!

Koes Plus sering dianggap sebagai pelopor musik pop dan rock 'n rolli di Indonesia. Mereka juga pernah dipenjara karena musiknya dianggap mewakili aliran politik barat (kapitalis.)

Mereka ditangkap dan sempat ditahan di penjara Glodok karena dianggap melakukan kesalahan dengan memainkan lagu-lagu Beatles yang dianggap meracuni jiwa generasi muda saat itu.

Iya saat itu memainkan musik "ngak ngik ngok" adalah sebuah "dosa" karena mewakili imperialisme pro barat.

Mereka dilepaskan satu hari sebelum meletusnya G30S PKI tanpa ada alasan yang jelas.

Dan pada akhir 2008, Koes Plus menjelaskan bahwa di balik penangkapan mereka, sebenarnya pemerintah Soekarno menugaskan mereka dalam sebuah operasi Kontra Intelejen untuk mendukung gerakan Ganyang Malaysia.

Berbicara Koes Plus adalah berbicara panjang sejarah Indonesia.

Dan semacam Koes Plus di Jakarta dan gang kecil ini di Banyuwangi. Semuanya berasal dari anak anak muda yang berani untuk membuat perubahan.

Mari anak muda membuat sejarah di tanah kita sendiri. Banyuwangi.

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Editor: Antariksawan Jusuf