Gedung Bioskop Seperti Balai RW Ada di Banyuwangi

Iraa Rachmawati (dipublikasikan pada Jumat, 24 Januari 2020 11:09 WIB)
- Opini



Selasa, 14 Januari 2020. Gubernur Ridwan Kamil menceriterakan pengalamannya nonton bioskop di Banyuwangi saat mengomentari 11 daerah di Jawa Barat tidak memiliki bioskop. Pria yang akrab dipanggil Emil itu mengatakan fasilitas bioskop di Banyuwangi terbilang sederhana, jika dibandingkan bioskop di kota-kota besar.

"Bioskop itu enggak harus selalu mewah dan berada di mal. Di  Banyuwangi saya nonton bioskop, bioskopnya gedung biasa saja kayak balai RW," kata dia dilansir dari detik.com.

Saya senyum membacanya. Apa ada balai RW yang menyediakan banyak kursi empuk dengan ac super dingin plus layar lebar buat nonton film? Ridwan Kamil datang ke Banyuwangi akhir tahun lalu berlibur bersama keluarga. Beritanya ada di mana-mana. Kunjungan Ridwan Kamil semacam promosi untuk Banyuwangi karena ia adalah media darling di negara ini.

Berbicara tentang bioskop di Banyuwangi, saya ingin kembali ke Maret 2013 lalu. Hampir 7 tahun lalu. Hari itu saya dan Ika 'jalan-jalan' ke Bioskop Irama yang saat ini telah berubah menjadi bioskop NSC Banyuwangi.

Ada pemberitahuan bahwa bangunan di Kampung Mandar seluas 1,345 meter per segi itu dijual. Masih ada coretan harga tiket mulai Rp 2.500, Rp 5.000, dan Rp 7.500 di depan tempat penjualan tiket masuk

Kami masuk ke dalam dan kondisinya sungguh memprihatinkan. Kumuh, kotor, dan atap yang nyaris roboh. Semakin berjalan ke dalam, kami dihadapkan dengan kenyataan bahwa gedung ini akan segera runtuh. Lantainya berdebu dan menyisakan jejak kaki kami.

Saat berbicara, suara menggema seperti di gedung orkestra. Saat itu saya berpikir tempat ini cocok untuk acara uji nyali karena dikabarkan berhantu,

Ponidi, penjual kopi di sudut timur Bioskop Irama yang kami temui mengatakan bahwa bangunan bekas Bioskop Irama itu dijual Rp 1,5 miliar rupiah. Ponidi membuka warung kopi pada tahun 1971 saat Bioskop Irama baru dibuka dan sedang moncer-moncernya.

Kepada saya dan Ika, Ponidi bercerita sebelum dibangun biskop, bangunan itu adalah gudang kapuk milik pedagang China yang bernama Hu Sin Sam.

Kapuk tersebut disimpan di gedung tersebut sebelum dikirim ke daerah lain menggunakan kapal laut melalui Pelabuhan Boom yang berjarak sekitar 500 meter ke arah timur dari gudang.

Karena bangkrut, gedung tersebut disewakan ke salah seorang pengusaha Bali yang kemudian menyulap bangunan tersebut menjadi bioskop sederhana. Ada 500 kursi spon yang disediakan dengan tiket penjualan Rp 75. Semua jenis film diputar mulai dari film India sampai Rhoma Irama. Bahkan Film Titanic yang fenomenal pada masanya pernah diputar di Irama.

Mungkin saya dan Ika generasi terakhir yang menonton di Bioskop Irama. Saat itu poster film diumumkan dengan mobil pick up dengan pengeras suara dibawa keliling Kota Banyuwangi.

Mobil itu pasti lewat depan Rumah Sukowidi.

Yang saya ingat saat nonton di Bioskop Irama hanyalah gelap, lembab, aroma kecoa dan tikus yang sangat kuat. Saya selalu menaikkan kaki saat nonton film karena takut dengan tikus yang tiba-tiba melintas dengan cepat.

Saat itu usia saya masih belasan tahun.

Mulai tahun 1990-an pengunjung bioskop mulai sepi dan awal tahun 2000-an kunjungan semakin sepi.Tahun 2012. Bangunan tersebut resmi dijual dan Ponidi terus berjualan kopi walaupun pembelinya tak seramai dulu.

Bioskop Irama bukan bioskop pertama yang ada di Banyuwangi. Bioskop pertama di Banyuwangi adalah Bioskop Srikandi yang berdiri sejak zaman Belanda dan memiliki 100 kursi dengan harga tiket sekitar Rp 5 sen.

Letaknya tepat di selatan Masjid Agung Baiturrahman.

Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi bercerita jika film yang diputar adalah film "Jawa" maka di depan bioskop akan digelar pertunjukan Angklung Caruk.

Saat sore hari, poster film akan diputar keliling kota menggunakan dokar. Menurut Hasnan jika film yang diputar adalah Film Tarzan, maka akan ada tokoh Tarzan yang akan ikut berkeliling membawa poster.

Bioskop Srikandi tutup pada tahun 1980-an dan bekas bangunannya sudah difungsikan sebagai perpustakaan. Saat ini bangunan Bioskop Srikandi sudah tidak ada dan di ganti dengan aula Masjid Agung Baiturrahman.

Bioskop kedua adalah Bioskop Suazana di Jalan Kapten Ilyas tepat di barat Bioskop Srikandi.

Bioskop Suazana adalah salah satu bioskop yang paling megah di Banyuwangi. Kala itu ada empat jenis tiket yang dijual yakni Kelas 1A dengan harga tiket Rp 15 sen, kelas 1B harga 7 sen 5 ketip.

Sedangkan kelas 2 dan kelas 3 harga tiket sekitar Rp 1 sen.

Sayangnya Bioskop Suazana tutup sekitar tahun 1993.

3 November 2014.

Setahun setelah kedatangan saya dan Ika ke gedung bekas Bioskop Irama, saya kembali datang seorang diri.

Lokasinya sama dan sudah direnovasi menjadi NSC Banyuwangi. Hari itu ada dua film yang diputar yakni Annabelle di Studio 1 dan Rumah Gurita di Studio 2.

Saya memilih film pertama dan duduk di kursi nomor 9. Kursi favorit saya saat menonton film di bioskop.

Hari itu saya memilih menikmati waktu seorang diri sambil mengenang betapa panjang perjalanan bioskop di Banyuwangi.

Sambil bersyukur menjadi bagian kecil dari sejarah bioskop di Banyuwangi.

Walapun tidak rutin, tapi beberapa kali saya nonton film ke satu-satunya bioskop yang ada Banyuwangi ini.

Bioskop yang disebut seperti Balai RW oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Apakah saya emosi saat Kang Emil mengatakan seperti itu? Iya. Tapi saya tidak ingin menghabiskan energi untuk memikirkan itu. Lagian siapa saya? Hanya warga biasa.

Saya yang meyakini bahwa suatu saat bioskop akan ikut bergeser dan tergantikan dengan aplikasi film di ponsel.

Sekarang saya hanya berdoa semoga balai-balai RW di Banyuwangi mirip dengan bioskop. Adem, wangi, dan buat betah buat ngobrol sambil ngopi.

Tempat bapak-bapak ngobrol. Ibu-ibu berkumpul dan anak-anak bermain.

Atau mungkin untuk calon bupati di Banyuwangi mau menjadikan program Balai RW dibangun seperti bioksop, sebagai program andalan saat kampanye.

"Kalau saya jadi bupati, semua balai RW disulap seperti bioskop. Pilih saya".
Yang abadi adalah perubahan. Salam dari pecinta film horor.

 

 

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Editor: Hani Z. Noor