Lirik Yang Benar Gending Manuk Kepodhang

Elvin Hendratha (dipublikasikan pada Jumat, 14 Mei 2021 08:09 WIB)
- Opini



Bersumber dari kaset analog produk bercover kaset dummy Maxell C-60 bertuliskan tangan, saya sengaja mengangkat tema gendhing Manuk Kepodhang.

Gendhing ini sangat populer, abadi dan telah dinyanyikan sejak tahun 1970an. Sederet penyanyi besar telah menyanyikannya, antara lain Koesniah pada album Angklung Koesniah Volume 1 dan Yuliatin pada album Ikawangi Volume 1. Puncaknya lagu ini terjadi ketika dinyanyikan di hadapan penguasa Orde Baru, Bu Tien dan para Mentri Kabinet Pembangunan di Bina Graha pada tahun 1970. Gandrung Poniti menyanyikan “Kepodhang” dengan menggunakan busana berwarna serba kuning dengan mempesona. Pak Harto sangat senang memberikan pujian kepadanya, bahkan Bu Tien berkenan memberikan kenang-kenangan khusus kepada Gandrung Poniti pada saat itu.

“Manuk Kepodhang” merupakan ciptaan S. Parman. Dedengkot dari Blambangan Group ini memang tidak terlalu produktif sebagaimana BS Noerdian atau Machfud HR dalam menciptakan gendhing-gendhing Banyuwangi. Dalam catatan ARTevac, S. Parman tercatat hanya menciptakan tiga lagu, yaitu: Langit Katon Biru, Septuan dan Kepodhang. Lagu ini memang berjudul asli “Kepodhang” saja, coba perhatikan kaset album Blambangan Group - Volume 3 yang bertitle AIU, produksi Kemala Recording. Tidak terdapat kosa kata “Manuk” di depannya, namun dalam perkembangannya beberapa produk-produk kaset album lain mulai memberikan tambahan kata “Manuk”, tampaknya sebagai upaya memberikan kemudahan dalam pelafalannya. Tetapi justru pada album Blambangan Group - Volume 3 yang bertitle AIU inilah, terjadi amputasi pemenggalan lirik secara keseluruhan yang kemudian diikuti oleh yang lainnya.

Lirik yang dihapal masyarakat umum, menggunakan lirik gendhing yang dinyanyikan oleh Koesniah dan Yuliatin, berasal dari album album Angklung Koesniah Volume 1 dan album Ikawangi Volume 1.


MANUK KEPODHANG

Ee ee.. lare-lare padha tangia

Wis wayahe yara uwis-uwis padhang

Rungokena unine manuk kepodhang

kepodhange yara nemplek ana ring empang

Uu uu liyu unine manuk kepodhang

Ye ye ye kepodhang kuning wulune


Lirik ini hanya penggalan dari struktur lirik gending secara keseluruhan. Lirik gending hasil penggalan hanya struktur sampiran, menghilangkan amanat pesan yang sengaja ingin dikirimkan S. Parman. Bercerita tentang fenomena kasih sayang yang tulus dalam membiasakan bangun pagi kepada anak-anak. Tentang suasana keindahan pagi, saat burung Kepodhang berkicau menyambut terbitnya matahari. Secara keseluruhan syair penggalan yang selama ini kita dengar, hanya menyampaikan suasana alam pedesaan yang masih ada kicau burung kepodhang setiap pagi.

Syair penggalan dengan iringan musik yang aduhai, mampu menyihir pendengar tanpa mempertanyakan apa ide sesungguhnya yang akan disampaikan pengarang. Narasi tentang pagi dan suara burung kepodang, dengan bangunan musik angklung Banyuwangian. Bisa membawa angan pendengar atau penikmat, kepada alam pedesaan yang masih asri.

Terputusnya kesatuan utuh lirik, membuat lirik abnormal keluar dari kebiasaan. Setiap lirik gendhing Banyuwangi pada saat itu (tahun 1970an), selalu menyelipkan pesan moral tentang kebajikan di dalamnya. Prinsipnya para pengarang saat itu, setiap ada masalah pasti ada solusinya. Kalau gending itu berisi ajakan kebaikan, cara penyampainya juga simbolis tidak langsung menggunakan bahasa verbal. Kita yang mendengarkan, diajak ke suasana tertentu kemudian disampaikan isi atau ide sesungguhnya dari pengarang.

Seperti pada syair gendhing Manuk Kepodang, justru penggalan lirik yang hilang, berisi pesan penyair yang amat penting. Berbeda dengan syair gending yang dibawakan Nurjanah. Nurjanah lebih lengkap dan memiliki amanat pesan penyair yang jelas. Isinya tidak sekedar sampiran, namun juga bercerita hal yang ingin disampaikan oleh penyair. Selain sebagai pemompa semangat memperbaiki diri, dengan mencontoh hidupnya Manuk Kepodang. Ajeg pagi-pagi dengan riang gembira, kemudian bersama-sama temannya bersemangat bekerja. Melakukan hal-hal yang berguna, baik bagi dirinya atau orang lain. Bahkan penyair menggambarkan, akibat berbuat dan bekerja itu akan meningkatkan harkat dan martabat sebagai makhluk hidup. Kata-kata “pamor” sampai diulang dua kali sebagai penekan, jika orang mau bekerja dan mempunyai penghasilan dari jerih payah sendiri, harga dirinya menikatkat dan hidupnya bisa tenang.

Pilihan analogi burung Kepodhang, melalui sebuah proses kontemplasi yang dalam. Warna bulu yang kekuningan bersih adalah symbol dari kemakmuran. Keindahan warna bulu tidak menjadikan, si burung kepodhang hanya diam dan berkicau. Tetapi Burung Kepodhang pada saatnya juga melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan dalam dunia fauna. S. Parman sengaja memberikan pelajaran tentang bagaiamana melakukan manajemen waktu yang baik, kapan kita menikmati hasil pekerjaan tetapi tidak meninggalkan kewajiban


MANUK KEPODHANG


ee........ lare-lare padha tangia

Wis wayahe yara uwis-uwis padhang

Rungokena unine manuk kepodhang

kepodhange yara nimplik ana ring empang

Uu uu liyu .... kepodhang apik unine

Ye ye ye ye .... kepodhang kuning wulune


Deleng delengen pathenge manuk kepodhang.

Buru tangi aju padha padha tandang.

Kaya kaya wis ngerti nyang kuwajibane.

Golet pangan bareng nggudag ambi kancane.

Kari pamor, kari pamor ayem atine.

Ye ye ye ye kepodhang makmur uripe...


Buru tangi aju podhang padha tandhang

Kaya-kaya wis ngerti nyang kewajibane

Selephangan yara nggudak ambi kancane

Kari pamor, kari pamor ayem atine.

Ye ye ye ye kepodhang makmur uripe..

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Elvin Hendratha

Editor: Antariksawan Jusuf