Manusia dan Ikan
Iskak Basuki (dipublikasikan pada Sabtu, 31 Oktober 2020 06:03 WIB)
- Esai
Manusia dan ikan sama-sama makhluk yang hidup di dalam fluida (zat non padat), manusia di dalam fluida berupa gas, ikan di dalam fluida berupa air. Zat-zat ini ada banyak menggenang dan mengambang di atas himpunan zat padat yang umumnya disebut tanah. Di dalam tanah itu sendiri, tak sampai 3000 km ke bawah, kondisinya cair tapi bukan air, melainkan besi dan batu yang saking panasnya mencair.
Manusia dan ikan 'terjebak' di dalam volume gas dan air yang membentuk ruangan-ruangan sangat besar. Ruangan-ruangan itu seperti bersusun; air berada di bawah, jadi 'basement' atau 'lantai dasar', karena lebih berat daripada gas. Air itu merendam, menggenangi sebagian besar planet ini, genangan terbesarnya disebut lautan atau samudera. Gas yang sifatnya lebih ringan, mengambang, melingkupi seluruh permukaan tanah dan lautan. Kesatuan zat padat (tanah), zat cair (lautan), dan zat gas (udara) itu bentuk globalnya mirip bola, dalam Tata Surya dinamakan Bumi, dalam keseharian manusia disebut Dunia.
Lautan, kolam besar tempat hidup ikan, kedalamannya bervariasi. Dari cuma semata kaki, di tepian yang disebut pantai, sampai di tengahnya ada yang mencapai 10 km dalamnya; amat dalam, dingin, dan gelap gulita; sinar matahari tak pernah sampai ke sana. Sebagai ruangan, kedalamannya itu identik dengan tingginya, sedang permukaan laut adalah 'atapnya' yang terus bergelombang karena terus dihembus udara yang bertiup kencang. Lautan itu kondisi 'lantainya' setali tiga uang dengan 'lantai' ruang hidup manusia, ada yang relatif datar, ada gunung-gunung, juga jurang-jurang terendam yang disebut palung.
Ruang hidup ikan sudah banyak yang diarungi, diselami, dieksploitasi oleh manusia tetapi saking luasnya masih jauh dari kata selesai, masih banyak lagi sisi yang belum diobservasi. Karena kecilnya manusia di tengah alam, 'space' samudera, rasanya tak kalah kolosal dan misterius dibandingkan dengan angkasa luar. Itu sebabnya ada yang memberi nama samudera 'Inner Space', angkasa dalam.
Himpunan gas yang menjadi ruang hidup manusia, umumnya disebut udara alias angkasa. Lantainya tidak lain seluruh daratan dan permukaan lautan dimana tak sedikit manusia hidup berseliweran dengan kapal berbagai ukuran di atasnya. 'Space' atau 'sphere', ruang hidup manusia disebut juga atmosfer. Atmosfer ini berlapis-lapis, menyelubungi sekaligus melindungi Bumi dari berbagai partikel luar angkasa. Tinggi lapisan terluarnya, 'atapnya', diketahui 560 kilometer. Sangat tinggi dibanding tinggi manusia, relatif tipis dibanding bundaran Bumi yang sekitar 40.000 km, atau diameternya yang sekitar 12.700 km. Di atas atmosfer kondisinya hampa udara, itulah 'outer space', angkasa luar. Dari luar sana manusia tampak tak ubahnya ikan kecil-kecil yang terus ribut berseliweran dan berebut makan dalam akuarium berbentuk bola.
Manusia dan ikan sama-sama hidup dengan menghirup oksigen yang dikandung fluidanya, manusia dengan paru-paru, ikan dengan insangnya. Ikan tak bisa hidup di luar air, manusia bisa hidup di dalam air dengan membuat berbagai peralatan selam sampai berupa kapal selam. Setiap hari banyak ikan yang sengaja dikeluarkan dari air untuk dikonsumsi manusia. Manusia terkadang ada yang mati tenggelam di perairan lalu, tanpa sengaja, dikonsumsi ikan.
Ikan sambil bernafas bisa menjelajah ke seluruh penjuru, ke seluas volume ruangannya, naik-turun bagaikan melayang dengan bebas, dengan menggunakan ekor dan siripnya. Populasi ikan menyebar di dangkalan, kedalaman, hingga dasaran yang gelap. Ada pula yang melanglang di semua bagian. Kawanan ikan kadang terlihat berlompatan di atas gelombang.
Manusia gara-gara terkena gravitasi hanya bisa menapaki dasar fluidanya, tidak bisa melayang menjelajah ketebalan angkasa kecuali dengan pesawat atau piranti khusus lainnya. Praktis, sebaran populasi manusia terkonsentrasi di permukaan daratan saja. Aktivitasnya pun di atas tanah saja, dengan berjalan atau pelbagai kendaraan. Manusia terlihat tak beda jauh dengan ikan yang habitatnya di dasar lautan.
Ikan tak terhitung modelnya, motifnya, warnanya, ukurannya, dan lain-lainnya. Sedangkan manusia, boleh dikata, hanya berwarna putih, kuning, sawo matang, sampai hitam; rupa dan bentuknya relatif sama semua dari kepala sampai kaki. Hanya ukurannya dari ramping sampai gemuk, dari pendek sampai tinggi. Hanya itu. Yang sulit dihitung pada manusia adalah isi kepalanya, pikirannya, keinginannya. Manusia punya 'karep' sendiri-sendiri. Manusia sendiri punya istilah 'Rambut di kepala boleh sama hitamnya tapi isinya berbeda-beda'.
Ikan banyak yang tampilannya menyeramkan. Hiu ialah salah satu contohnya. Selain badannya besar, mulutnya lebar dan tampak selalu menganga menyeringai memamerkan geriginya yang tajam; gerakannya pun bisa cepat luar biasa dalam memburu mangsa. Meski begitu, di otaknya tidak ada program membunuh. Hiu semata-mata berburu. Memang begitulah naluri dan caranya mencari makan. Semua ikan pun demikian, sebanyak apapun ikan lain yang dimangsa tidak sampai memusnahkan spesiesnya, tidak sampai merusak tatanan yang disebut rantai makanan, apalagi sampai mengganggu keseimbangan alam. Ikan memang liar tapi tidaklah serakah. Ikan punya otak tapi tidak punya akal. Ikan tidak pernah berpikir untuk menumpuk atau menyimpan makanan, apalagi uang, sebanyak-banyaknya. Ikan tidak ada yang kaya atau miskin. Yang ada ikan paling besar seukuran kapal sampai ikan paling kecil seukuran jarum paling kecil. Tanpa akal, tanpa tangan dan kaki, semua ikan bisa hidup, bisa makan rutin saban hari.
Manusia dengan akal, dengan anggota badan, ternyata malah banyak yang kesulitan hidup, kesulitan makan. Kenapa? Fisik manusia relatif sama ukurannya tapi 'karep', nafsunya, melampaui besar fluidanya. Akalnya tidak hanya mengakali ikan dengan pancingan, tetapi untuk mengakali bahkan memancing sesama manusia juga. Manusia berlomba mencari akal untuk menimbun 'makanan' sampai tingginya tak masuk akal, sampai sebagian besar lainnya kehabisan atau mati kelaparan. Manusia terjebak di dalam volume otaknya yang cuma sekepal; semua harus masuk akal. Hidupnya pun dirasa bergantung pada akalnya, pada dirinya sendiri, bukan pada Dzat yang telah menciptakannya.
Ikan, tanpa berpikir panjang, bergantung dan percaya penuh kepada Dzat Pencipta-nya tentang makannya, rejekinya, nasibnya, tanpa khawatir, tanpa takut mati. Ikan sepertinya lebih berkeyakinan daripada manusia. Hidup ikan terus mengalir begitu saja seperti air, bersama air, fluida tempatnya lahir.
Di dasar samudera sana, siang malam sama gelapnya, sedang di dasar atmosfir siang malam bisa sama terangnya sebab penerangan sudah ada di mana-mana. Tapi terangnya matahari maupun lampu merkuri cuma sebatas di mata kepala. Di mata hati belum tentu terang, belum tentu beda dengan dasar samudera. Di bawah sana, di keremangan air, lumrah terjadi rebutan pangan atau makan memakan antar ikan, tetapi sulit mengira adanya perkelahian masal atau peperangan antar ikan. Di sini, sejarah kemanusiaan banyak menorehkan peristiwa kelam, banyak membikin kerusakan di daratan dan di lautan. Tak terhitung yang namanya 'homicide', 'suicide', hingga upaya 'genocide'.
Tapi tentu, tidak semua manusia berperilaku antagonis. Di antara kepala yang sama-sama berambut hitam, ataupun pirang, masih banyak yang isinya positif dan konstruktif. Berbagai macam ikan banyak dibudidaya manusia di empang-empang atau kolam, untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, untuk dibakar atau diapakan saja di dapur. Ikan-ikan konsumsi beda jauh nasibnya dengan ikan hias, ikan-ikan yang bagus bentuknya, warnanya, apalagi langka spesiesnya. Ikan sejenis ini disayang manusia, dihargai mahal, dipiara di kolam terbuat dari batu pualam, atau di akuarium. Manusia pun, di mata Tuhan, ada yang bagus, ada yang tidak bagus, ada yang di antara keduanya. Kebagusan manusia tidak dilihat dari kulitnya, dari bentuk luarnya. Bagus tidaknya manusia, merujuk kata Luqman dalam Al-Qur'an, tergantung pada segumpal darah yang ada dalam tubuhnya, yaitu hatinya.
Bertahun hidup di dalam fluida, manusia tanpa kecuali mengalami kerusakan hati terkena polusi, korosi, oksidasi, dlsb. yang tidak bisa dihindari. Lalu, oleh Tuhan, manusia diberi petunjuk metoda-metoda pembersihannya kembali. Manusia, ada yang 'ngelakoni', ada yang tidak. Ada yang kembali bagus hatinya, ada yang tidak, ada pula yang di antara itu hasilnya. Nasib manusia, gambaran kasarnya, sama dengan nasib ikan, ada yang berakhir di dapur, ada yang akhirnya dipajang di ruang tamu, di dalam akuarium.
(Bwi,1020.1.ib)
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : Karangan Sendiri
Editor: Hani Z. Noor
