Muntaha dan Gerakan Kemandirian Petani Kopi Gombengsari
Widie (dipublikasikan pada Jumat, 29 Mei 2020 08:11 WIB)
- Tokoh
Sebagai wilayah yang memiliki potensi, Kelurahan Gombengsari Kalipuro, menjadi jujugan penikmat kopi. Seiring berkembangnya pariwisata Banyuwangi sebelum adanya pandemi Korona yang cukup signifikan dalam lima tahun terakhir, tidak saja menempatkan Gombengsari sebagai destinasi wisata yang diperhitungkan di tingkat nasional tapi juga internasional.
Salah satu pelopornya adalah Muntaha, petani kopi dan sekaligus sosok yang selama ini melakukan kampanye dan pemberdayaan kepada masyarakat, supaya kopi yang ada di Gombengsari dikelola supaya bisa meningkatkan nilai ekonomi warga setempat.
Masyarakat yang mayoritas sebagai petani kopi tersebut, sebelumnya menjual hasil budidaya kopi robusta dan eselsanya dalam bentuk biji mentah yang harganya sangat murah. Tetapi setelah Kelurahan Gombengsari ditetapkan sebagai kawasan agrowisata, masyarakatnya cenderung menjadikan hasil panen kebun kopinya dalam bentuk olahan.
Muntaha, 54, warga Lingkungan Kacanganasri Kelurahan Gombengsari adalah salah seorang warga yang mulai merasakan dampak positif kemajuan pariwisata Banyuwangi. Setelah puluhan tahun berjuang untuk bisa lepas dari cengkraman tengkulak kopi yang membelenggu petani kopi dengan sistem ijon. Laki-laki yang mengaku berkebun kopi sejak usia remaja itu merupakan petani yang kini mulai menggeliat setelah selama puluhan tahun menjual kopi hasil panenan kebunnya dalam bentuk biji.
Muntaha bercerita, sebelum banyak wisatawan berkunjung, banyak petani kopi yang menjual dalam bentuk biji mentah, bahkan diborong sehingga menyebabkan produksi kopi harganya rendah. Tetapi, sekarang petani mulai melirik pasar yang menjanjikan dengan mengolah biji kopi menjadi bubuk kopi yang nilai ekonominya jauh lebih tinggi.
“Kalau dulu masih terikat dengan tengkulak, tapi sekarang sudah berangsur-angsur dikelola sendiri. Karena kalau di tangan pengepul, kondisi kopi banyak yang rusak, sebab cara panennya langsung ditarik semuanya," kata pemilik cafe Kasela (Kacangan Asri Selalu Langgeng) ini.
Untuk terus melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat yang ingin tahu bagaimana cara mengelola kopi yang baik dan benar, Muntaha juga membuka usaha kafe mini dengan nuansa pedesaan. Di kafe ini Muntaha melakukan praktek sangrai kopi, petik dan cara perawatan kopi. Termasuk memberikan edukasi tentang jenis-jenis kopi yang ada di Gombengsari.
“Cafe ini dibuat untuk sarana komunikasi dan edukasi, juga untuk menumbuh kembangkan semangat pengunjung yang datang agar bisa melihat bagaimana perputaran ekonomi yang terjadi pada kopi yang dikelola," ungkapnya. Sehingga, lanjut Muntaha, dengan adanya Kasela saat ini bisa menjadi pemutus mata rantai yang memberatkan para petani. Karena dirinya akan menerima bahan mentah dari warga dengan harga standar di atas harga tengkulak.
“Di sini sebanarnya menampung hasil dari usaha warga, ada Kopi Luwak Arabika dan Robusta, Kopi Lanang, Kopi Arabika Original, Kopi Robusta original, Kopi Konuga Robusta, Kopi Excelsa, Green Coffee, dan Kopi Jambe Nom Spesial laki-laki. Semua hasil dari produk warga sini," papar ayah dua anak ini.
Sejak mengolah sendiri biji kopi menjadi bubuk kemasan, Muntaha mengakui penghasilannya bisa berlipat dibanding menjual biji mentah. Hal itulah yang menjadikan warga setempat ikut terlibat dalam pengelolaan kopi di kebunnya menjadi kopi semi olahan, lalu kemudian dijual ke Kasela dengan harga tinggi. Padahal, kalau kopi belum diolah, kata Muntaha, biji kopi kering mentah hanya dihargai antara Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per kilonya. Tetapi bubuk kopi olahannya bisa dihargai jauh lebih tinggi tergantung dari jenis kopinya.
“Saat ini wilayah pemasaran produk kopi bubuknya, selain Banyuwangi, juga mulai merambah sejumlah kota di tanah air, seperti Pekan Baru, Denpasar, Malang, Gresik dan Kediri,” katanya.
Selain usaha kopi, Muntaha juga telah membuka usaha peternakan lebah madu sejak usia 20-an. Bagi pria yang memiliki hobi berbagi ilmu ini, usaha peternakan lebah madu sangat menguntungkan, selain madu yang dihasilkan dari meditasi lebah, pemilik juga dapat memasarkan sarang dan larva lebah yang biasa disebut tolo ke pedagang peracangan di sekitar wilayah misalnya di daerah Penataban.
Sama dengan kopi, untuk pemasaran hasil peternakan lebah madu tidak hanya di dalam kota, melainkan sudah meluas hingga daerah Surabaya, Tuban, Jawa Tengah hingga Pulau Bali.
Saat ini, Muntaha memiliki kurang lebih 50 kotak kandang lebah madu, dari ukuran kecil hingga yang besar. Dalam pemasangan kotak kayu sebagai kandang lebah, menurutnya dibutuhkan penentuan hari baik sesuai kalender jawa berdasarkan kepercayaan masyarakat Lerek, misalnya hari Senin pon, Jumat legi, Minggu legi, dll. Jika pemasangan kayu tidak sesuai dengan hari baik, maka dipercata lebah tidak dapat menghasilkan madu meskipun lebah telah bekerja selama dua tahun lamanya, hal tersebut pernah dialami oleh peternak lebah madu lainnya.
Pelaksanaan panen madu dapat dilakukan setelah satu tahun. Biasaya panen dilakukan pada bulan Juni hingga Desember, jika musim panas, madu yang dihasilkan akan semakin banyak hingga bulan April. Selain itu panen juga dapat dilakukan pada sarang yang berisikan anak lebah madu yang dapat dikonsumsi sebagai “botok tawon”.
“Saat ini sudah bisa dikembangkan diwilayah lain untuk budidaya madunya. Seperti di Secang, Ketang dan daerah pedesaan lain di Kalipuro dan Giri.” Pungkasnya.
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : bisnisbanyuwangi.com
Editor: Hasan Sentot