Nun Dalam Bahasa Using
Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Rabu, 13 November 2019 17:28 WIB)
- Esai
“Nun” menjadi satu kata basa Using yang sangat diakrabi anak-anak Using karena kata tersebut merupakan jawaban saat nama seorang anak dipanggil. Bunyinya seperti huruf Arab ke 25. Nun ternyata belum dicatat dalam Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang disusun almarhum Hasan Ali. Bukan tidak penting, pasti kata tersebut terlewat saat Pak Hasan menyusunnya menggunakan mesin tulis manual di rumahnya di Mangir Rogojampi.
Nun berarti sebuah kepasrahan, menunjukkan segala penyerahdirian dan bentuk penghormatan pada yang memanggil, biasanya orang tua. Nun tidak dipakai untuk menjawab panggilan pada anak sebaya karena Nun menjawab panggilan orang yang dihormati. Jawaban panggilan anak-anak kepada temannya adalah “Paran" (Bahasa Indonesia: Apa?”)
Pada umumnya, orang Using tidak mengenal bahasa “krama” atau bahasa halus yang sekarang disebut besiki. Seorang Belanda yang pernah tinggal di Licin Banyuwangi, de Stoppelaar, tahun 1927 mengatakan bahasa yang digunakan oleh penduduk Banyuwangi adalah Bahasa Using. Penduduk di desa-desa terutama di daerah pegunungan, tidak mengenal bahasa krama.
Memang bahasa Using egaliter, tidak membedakan kasta sosial pembicaranya. Pada naskah-naskah lama yang beredar di Banyuwangi dan diyakini sebagai karya “asli” Blambangan seperti Lontar Yusup (yang masih rutin ditembangkan di desa Kemiren seminggu sekali), Lontar Ahmad, Lontar Juwarsah, Serat Ambiya, Serat Sudamala, Serat Sritanjung, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno (Kawi) yang egaliter. Sritanjung (kelanjutan dari cerita Sudamala) saya yakin karya “asli” Blambangan karena ada deskripsi di dalamnya saat suami Sritanjung, Sidapeksa, terbang menuju kahyangan, diceritakan ia melihat kondisi geografis yang menggambarkan Blambangan secara jelas: di sebelah barat pegunungan, di sebelah utara dan selatan hutan dan di sebelah timur lautan. Meski Bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa tengahan (sekitar abad XIV-XVII), berdasar penelitian Suparman Herusantosa, bahasa Jawa dan bahasa Using secara genealogis satu induk, yaitu bahasa Kawi. Keduanya diperkirakan terpisah sekitar tahun 1163-1174. Bahasa Jawa berkembang menjadi bahasa Jawa baru pada masa kerajaan Mataram kedua dan memuncak pada abad XVII-XIX masa kerajaan Yogya-Surakarta (Sardanto Tjokrowinoto, Pusaran Bahasa dan Sastra Jawa).
Bisa jadi karena terisolasi secara geografis dan jauh dari hiruk pikuk perkembangan bahasa Jawa baru, bahasa Using masih mengikuti bahasa Jawa kuno. Kata ganti orang /isun/; /sira/ atau /ring/ yang merupakan tembung garba /ri + ing/ (ri=di; di dalam; dengan; tentang) merupakan sisa-sisa kata Jawa kuno yang justru tidak lagi dipakai dalam bahasa Jawa sehari-hari sekarang, kecuali dalam bahasa pedalangan (Suparman, ibid). Bahasa Jawa berkembang, antara lain mengubah vokal /a/ menjadi /o/ saat para abdi raja yang disebut gandhek menggunakan bahasa bisik-bisik yang kemudian oleh Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya dinilai menjadi bahasa yang lebih halus dan sopan (Budiono Herusatoto, Banyumas Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, 2008).
Kembali ke kata Nun. Anak-anak keluarga Using, masih sering ditemui berbahasa Using (bukan ragam besiki) kepada orang tua mereka. Kata ganti orang “Rika” terdengar biasa saat anak berkomunikasi kepada ayahnya, meski ada bentuk “Ndika” yang dianggap lebih sopan. Besiki biasanya digunakan kepada orang asing atau orang yang tidak begitu dikenal. Dalam catatan, kata yang mempunyai variasi besiki kurang dari hitungan 1.000 kata dalam kamus Using.
Sikap-sikap yang jumawa, kaya hing mempan dibacuk, dan diumpamakan “hing duwe tata” sirna dengan bunyi Nun ini, dan seluruh sikap pemilik bunyi Nun ini menjadi seperti lele dibangkil.
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : Suparman Herusantosa, 1987, Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, UI disertasi tidak diterbitkan
Editor: Hani Z. Noor