Santet dalam Budaya Using Banyuwangi: Pengasihan Bukan untuk Membunuh Orang

Iraa Rachmawati (dipublikasikan pada Kamis, 11 Februari 2021 07:31 WIB)
- Esai



Beberapa hari terakhir publik dihebohkan dengan pembentukan Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) di Kabupaten Banyuwangi. Bahkan disebutkan jika para anggota persatuan dukun nusantara akan menggelar festival santet.

Iya. Santet sangat identik dengan Kabupaten Banyuwangi.

Pada 2015 lalu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan jika ia ingin mengubah citra Banyuwangi menjadi daerah tujuan wisata bukan lagi kota dukun santet,

"Kalau dulu ke Banyuwangi cari dukun santet, sekarang ke Banyuwangi cari tempat wisata," kata Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas dikutip dari Kompas.com, Senin (14/9/2015).

Kala itu ia mengatakan butuh dua tahun untuk mengubah total citra negatif Banyuwangi di mata sebagian warga Indonesia.

"Seakan sulit hilang peristiwa pembantaian dukun santet di Banyuwangi puluhan tahun lalu di benak masyarakat," ujar Bupati Anas kala itu.

Setelah 10 tahun dalam kepemimpinan Anas, Kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten tujuan pariwisata di Indonesia yang dikenal di kancah nasional.

Pada tesisnya yang sudah dibukukan berjudul "Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi"(2007) , Heru SP Saputra menulis, sebagai warisan budaya Kerajaan Blambangan, tradisi mantra Using merupakan khazanah budaya kelisanan yang hingga kini masih tetap diperlukan oleh kelompot etnik Using.

Pemanfaatan mantra Using dalam konteks karakterisik budaya Using lebih disebabkan sebagai pola jalan pintas untuk mencapai tujuan saat mekanisme budaya mengalami jalan buntu.

Tradisi mantra di masyarakat Using

Bagaimanakah santet dalam pandangan masyarakat Using?

Masyarakat Using adalah masyarakat asli Blambangan yang menjadi cikal bakal Kabupaten Banyuwangi. Saat ini masyarakat Using tersebar di belasan kecamatan dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi.

Heru dalam bukunya menjelaskan masyarakat Using tak bisa dilepaskan dengan tradisi prosa lisan salah satunya adalah mantra.

Mantra Using memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan mantra-mantra kelompok etnik lainnya di Nusantara.

Atas dasar sumber ajaran dan tujuannya pemakaiannya pembagian mantra jenis magi mantra Using bukan hanya dua hitam dan putih.

Namun masyarakat Using membaginya menjadi empat macam yakni magi hitam, magi merah, magi kuning, dan magi putih.

Keempat jenis magi tersebut dapat dimanfaatkan secara homeophatic magic maupun contogions magic.

Dosen Universitas Negeri Jember tersebut menjelaskan magi hitam adalah mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kejahatan. Korban mantra magi hitam bukan hanya dihabisi nyawanya, tapi juga harta bendanya.

Sementara magi merah adalah mantra yang pemakaiannya tidak dilandasi hati nurani tetapi didorong untuk memenuhi hawa nafsu dengan tujuan korban tersiksa batin dan fisik. Magi merah juga dikenal dengan pengasihan atau santet.

Santet yakni akronim dan frasa mesisan gancet (sekalian menyatu) atau mesisan benthet (sekalian retak). Salah satu santet yang terkenal adalah Santet Jarang Goyang.

Untuk magi kuning adalah mantra yang penggunaannya didasari dengan ketutulusan hati dan maksud baik. Biasanya penggunaan mantra ini hanya agar disenangi atau dicintai sesama manusia.

Terakhir adalah magi putih yakni mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kebaikan dan berfungsi untuk menetralisasi praktik magi hitam dan merah. Baik untuk penyembuhan ataupun tolak bala.

"Santet bukan sihir"

Hal senada juga dijelaskan Budayawan Banyuwangi Hasnan Singodimayan.

"Santet bukan sihir. Santet bukan untuk membunuh tapi pengasihan biar orang makin cinta," kata pria kelahiran Banyuwangi pada 17 Oktober 1931.

Hasnan mengatakan keberadaan santet saat ini masih dipengaruhi stigma hitam pasca-tragedi politik pembunuhan orang yang diduga dukun santet di wilayah Banyuwangi pada periode tahun 1998-1999.

"Tragedi itu yang membuat santet dianggap membunuh. Padahal santet adalah ilmu merah dan mantra yang digunakan adalah bagian dari sastra lisan," jelasnya.

Menurutnya ada beberapa mantra yang masuk dalam jenis magi merah atau dikenal dengan santet yakni Jaran Goyang, Siti Jenar, Semut Gatel, Bantal Gulling, Kucing Gorang dan lain sebagainya.

Ia menjelaskan fungsi sosial mantra santet untuk menyatukan dua orang agar bisa menikah atau memisahkan kedua orang yang mencintai agar bisa menikah dengan pasangan pilihan keluarganya.

"Saat Kerajaan Blambangan diambang kehancuran, rakyatnya terpisah dan agar keturunan mereka tidak tercampur, mereka menikah dengan dasar kekerabatan. Biasanya kan ada yang saling suka tapi ternyata nggak disetujui oleh orang tua. Nah di sini fungsi mantra Jaran Goyang untuk menyatukan mereka."

"Niatnya baik. Bukan untuk hal-hal yang nggak jelas. Ini adalah ilmu pengasihan," ungkap penulis buku novel "Kerudung Santet Gandrung" tersebut.

Menurut Hasnan, di antara banyaknya mantra pengasihan, mantra Jaran Goyang yang paling ampuh.

"Nggak perlu waktu lama, kalau sudah dirapalkan bisa langsung jatuh cinta," katanya sambil tersenyum.

Ia juga menjelaskan nama Jaran Goyang diambil dari perilaku kuda yang sulit dijinakkan, namun jika sudah jinak maka kuda sangat mudah dikendalikan.

"Sama dengan perasaan cinta. Awalnya susah dikendalikan tapi kalau sudah jatuh cinta bisa bisa semua baju miliknya dibawa pulang ke rumah pasangannya seperti orang gila dan memang korban terbanyak adalah perempuan walaupun tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa terkena santet Jaran Goyang," kata Hasnan.

Sementara itu dalam artikelnya yang berjudul Sastra Santet dalam Puisi Using dalam Buku Satra, Seni, Santet Sekumpulan Artikel tentang Banyuwangi, Hasnan juga menulis jika santet dalam ranah budaya, tetapi sihir berada dalam ranah kriminal.

"Mantra sihir berbeda jauh dengan mantra santet yang mengandung banyak nilai sastra yakni wangsalan dan basanan. Seperti petatah petitih, gayung bersambut," tulis Hasnan.

Menjadi tari hingga lagu

Pada tahun 2017, lagu Jaran Goyang yang dibawakan penyanyi dangdut Nella Karisma populer di kalangan masyarakat.

Berikut penggalan dari liriknya.

"Apa salah dan dosaku, sayang. Cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang kan kuberikan. Jaran goyang, jaran goyang..."

Tak hanya lagu tersebut. Santet Jaran Goyang juga menjadi inspirasi sebuah tarian Jaran Goyang.

Tarian yang selama ini dikenal sebagai ciptaan S. Parman tetapi jadi perdebatan karena diaku pula oleh Slamet Menur (78) pada tahun 1960-an.

Slamet Menur adalah seniman tari Banyuwangi. Ia mengatakan tari Jaran Goyang ditarikan pertama kali pada tahun 1966 oleh penari bernama Darji dan Parmi dari Lembaga Kesenian Nasional (LKN) milik Partai Nasional Indonesia yang saat itu ada di wilayah Kecamatan Genteng Banyuwangi.

Berbeda dengan tari Jaran Goyang saat ini yang ditarikan oleh dua orang yaitu laki-laki dan perempuan, pada masa itu Jaran Goyang ditarikan banyak orang walaupun ada dua penari utama.

"Tari Jaran Goyang adalah tari pergaulan yang menceritakan seorang pria yang mencintai seorang gadis, namun ditolak. Akhirnya sang pria merapalkan mantra jaran Goyang lalu melempar bunga kepada sang gadis hingga dia jatuh cinta dan tergila-gila pada sang pria," cerita Slamet Menur.

Menurutnya, tari tersebut muncul dari fenomena mantra Jaran Goyang yang tumbuh subur di kalangan masyarakat Suku Using.

Tarian tersebut sempat dipentaskan di luar Kota Banyuwangi beberapa kali oleh LKN kemudian disempurnakan kembali gerakannya oleh pencipta tari Banyuwangi Sumitro Hadi dan dikembangkan oleh pencipta tari Subari Sofyan.

"Pada tahun 1966, saya sudah jadi pelatih tari termasuk yang melatih Darji dan Parmi. Sayangnya saya sudah tidak pernah bertemu lagi dengan mereka. Kabar terakhir saya dengar mereka menikah. Itu pasangan yang pertama kali menarikan tari Jaran Goyang," kata Slamet Menur.

Hingga saat ini, mantra Jaran Goyang yang menjadi bagian dari sastra lisan masih memiliki fungsi sosial di lingkungan masyarakat Banyuwangi khususnya bagi Suku Using.

Termasuk juga tari Jaran Goyang yang masih sering ditampilkan di pementasan kesenian di Kabupaten Banyuwangi.

Heru SP menulis, sebagai warisan budaya Kerajaan Blambangan, tradisi mantra Using merupakan khazanah budaya kelisanan yang hingga kini masih tetap diperlukan oleh kelompot etnik Using.

Pemanfaatan mantra Using dalam konteks karakterisik budaya Using lebih disebabkan sebagai pola jalan pintas untuk mencapai tujuan saat mekanisme budaya mengalami jalan buntu.

 

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Editor: Antariksawan Jusuf