Serat Centhini: Perjalanan Putra-Putra Giri ke Blambangan

M Hidayat Aji Wirabhumi (dipublikasikan pada Rabu, 03 Maret 2021 06:49 WIB)
- Esai



Dalam peristiwa penaklukkan Giri Kadhaton oleh Mataram tahun 1680, ada beberapa keluarga Sunan Giri [V] alias Sunan Kawis Guwa yang berhasil menyelamatkan diri, diantaranya adalah Jayèngsari dan Niken Rancangkapti, dengan ditemani oleh abdi setia mereka, Buras. Perjalanan mereka keliling Jawa, terutama saat menuju ke timur, akhirnya berhasil mencapai tanah leluhur mereka di Kerajaan Balambangan.  

Berikut ini adalah ringkasan perjalanan mereka di Balambangan itu yang Aji Ramawidi kutip dari Serat Centhini dan sumber-sumber lainnya. 

Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini yang konon bersumber dari Serat Jatiswara, digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV. Sangkala Serat Centhini berbunyi "Paksa Suci Sabda Ji" yang berarti tahun 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi, berarti masih dalam masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV. 

Dalam tulisan ini, Penulis hanya akan menyebutkan perjalanan tokoh-tokohnya di wilayah Kerajaan Balambangan. Pertama-tama kita masuk ke ujung barat Balambangan di Lamajang, tepatnya di Klakah. Jayèngsari, Niken Rancangkapti, dan Buras singgah di kediaman Umbul Sadyana. Di sana mereka menyaksikan percikan-percikan api di puncak Gunung Lamongan yang tengah aktif.

"Jayèngsari dalah rayi lan abdi nglajêngakên lampah dumugi ing Dhukuh Klakah sipêng ing griyanipun Umbul Sadyana nyumêrêpi urubipun Rêdi Lamongan ing wanci dalu.”

Kemudian melanjutkan perjalanan ke Dhusun Kandhangan, masih di wilayah Lumajang. Di sana mereka bertemu dengan Seh Among Budi yang menerangkan kepada mereka mengenai tatacara bersuci dan ibadah dalam Islam.

Selanjutnya di Gunung Argapura, mungkin di Asrama Segara, mereka berjumpa dengan Seh Wahdat yang mengajarkan tentang Dzat, Sifat, Asma’, dan Af’al Tuhan dalam Islam. Juga tentang dua puluh sifat Tuhan dalam Islam.

Mereka melanjutkan hingga ke Rawun Wukir atau Redi Rawun (Gunung Raung). Di sana bertemu dengan seorang wiku-putri bernama Retna Tan Timbangsih, yang mengajarkan tentang wujud empat Nafsu dalam Islam.

“…gancanging kang lampah wus prapta ing Rawun Wukir kèndêl têpining Talaga. Ing Rêdi Rawun pinanggih wiku-putri wasta Rêtna Tan Timbangsih, amêdharakên bab: Kadis Markum ingkang anggambarakên candraning napsu sakawan…”

Perjalanan dilanjutkan menuruni gunung ke selatan ke dusun Nglicin di puncak Arga Hijin. Dari tempat tersebut, pantai selatan Jawa terlihat, terlebih lagi Supitan Balambangan dan Gunung serta Pulau Bali. 

“…praptanya ing Nglicin Dhusun ing pucaking Arga Ijèn sênênging tyas sakaroron. Myat laut ing karajan dhusun lan dhukuh myang laut supittan Bali, baita kang samya labuh, pulo lan ardi ing Bali, lawan Laut Kidul katon. Ardi Banyuwangi katingal sadarum wèh sênêng kang nêmbe uning cêtha kang samya kadulu Hyang Rawi tumamèng WUKIR wulan purnama gumantos.”

Dari Nglicin perjalanan dilanjutkan ke selatan sampai di Candhi Sela Cêndhani atau Candhi Pêthak. 

Pangkat saking Nglicin andarung mangidul, eca kang samya lumaris, marga kayoman ing taru, rapêt padhanging Hyang Rawitan ana ingkang tumlorong. Kalèn wêning mili angapit dêlanggung, sinalisir sela langking, nahên lampahira rawuh ing Candhi Sela Cêndhani  gagandhengan asri tinon.

Ing Banyuwangi ningali Candhi Sela Candhani... Lajêng dhatêng griyanipun Ki Menak Luhung jurukuncinipun candhi kasbut.”

Umatur Ki Menak Luhung; cariyossipun ing nguni jaman Kraton Majalêngka, ingriki klêbêt Cêpuri kadhaton ing Balambangan…”

Di Candi tersebut, mereka berjumpa dengan juru kuncinya yang bernama Menak Luhung. Menurut Penulis beliau adalah mantan Bupati Candibang yang sudah madheg pandhita. Kepada sosok Juru Kunci ini mereka menjelaskan asal-usul mereka yang dari Giri Kadhaton dan menyelamatkan diri karena negerinya diserang musuh. Dari cerita mereka Menak Luhung tahu bahwa sebenarnya dalam darah mereka mengalir trah yang sama dari Balambangan. 

Karena kesadaran akan kepemilikan satu trah yang sama itu, kemudian Sang juru kunci berkenan menceritakan keadaan Balambangan. Juga tentang nama desa itu yakni Dusun Blumbang yang sepi. Daerah itu ternyata merupakan adalah CÊPURI tempat gingsirnya kadhaton Balumbungan saat Palihan Nagari tahun 1478. Dalam Suluk Balumbung disebutkan bahwa semua kebesaran masa lalu itu ditanam di sana oleh Menak Sopal, sebelum kemudian penerusnya yang bernama Menak Sembar mendirikan Kerajaan Balambangan di Bhumi Sambhara. 

Maka dari itu, tidak boleh sembarangan orang bisa sampai ke tempat ini. Karena di sinilah warisan Kadipaten Balambangan disimpan. Di sini pula nanti akan berdiri arjaning praja babasan loh jinawi pasir wukir. Gêmah ripah panjang punjung nagri ngungkurrakên wukir ngajêngakên palabuhan kanan bandar kering sabin toya wêning langkung kathah tan karya sangsayèng nagri.

Setelah beberapa lama di Blumbang, mereka diajak oleh Menak Luhung ke Pelabuhan Banyuwangi. Di sana Ki Buras merasa haus dan seorang nelayan bernama Ki Pandaya menunjukkan mata air tawar di tepi pantai yang disebut Sumber Agung. Mereka minum di mata air tersebut.

Kemudian datanglah kapal milik saudagar asal Pekalongan, yang mana nahkoda kapal tersebut adalah salah satu sahabat Menak Luhung yang bernama Ki Hartati. 

Ki Hartati selalu mampir ke Balambangan saat perjalanan dari Bali ke Pekalongan. Dan karena dia tidak memiliki keturunan akhirnya Ki Hartati meminta Jayengresmi dan Rancangkapti sebagai anak angkatnya dan diajak ikut ke Pekalongan.

Demikianlah kisah perjalanan Jayèngsari dan Niken Rancangkapti, dengan ditemani oleh abdi setia mereka, Buras, kembali ke tanah leluhurnya.

___________________________

Kunjungi juga tulisan Aji Ramawidi lainnya di ajisangkala.id.

Untuk mendapatkan Serat Centhini bisa menghubungi Historivasi Aji (0822-7203-8912).

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Serat Centhini, Suluk Balumbung, dan Band Tanah Jawi. ajisangkala.id

Editor: Hani Z. Noor