Taman Blambangan dan Serat Sri Tanjung
Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Rabu, 22 Januari 2020 11:16 WIB)
- Opini
Candi apa yang ada di Taman Blambangan Banyuwangi? Mengapa dibangun di Banyuwangi? Paduraksa yang dibangun di saat Banyuwangi di bawah kepemimpinan bupati Joko Supaat Slamet (1966-1978) akhir tahun 1960an ini meniru Candi Panataran di Blitar. Mengapa Panataran?
Panataran merupakan bangunan suci yang dibangun ratusan tahun. Dari angka-angka yang terpahat pada patung penjaga dwaraphala menggunakan huruf Jawa kuno, terbaca angka 1214 Saka atau 1292 Masehi. Pada salah satu prasasti batu ada juga angka 1119 Saka atau 1197 Masehi dikeluarkan oleh Raja Srenga dari Kerajaan Kediri. Isinya antara lain peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah. Para ahli berpendapat bahwa Palah yang dimaksud adalah Candi Panataran sekarang.
Di kompleks percandian Panataran terdapat relief-relief yang dipahatkan pada dinding candi, di bagian belakang dwaraphala maupun di dinding kolam. Terdapat delapan cerita pada dinding-dinding tersebut, salah satunya adalah Sri Tanjung yang berada di sisi barat dan berlanjut pada dinding selatan pada pendopo teras.
Reliefnya dibaca dengan urutan bertentangan dengan arah jarum jam (prasawya). Sri Tanjung inilah yang dianggap sebagai cerita asal-usul kota Banyuwangi. Singkat ceritanya Patih Sidapeksa diutus Raja Sulakrama di negeri yang bernama Sindureja untuk mencari obat kepada seorang begawan yang bernama Tambapetra di desa Prangalas. Obat tak dapat, malah Sidapeksa jatuh cinta pada cucu cantik Tambapetra bernama Sri Tanjung. Ia merupakan anak Sadewa, saudara termuda dari Pandawa Lima. Singkat cerita, Sidapeksa mempersunting Sri Tanjung yang kecantikannya membuat raja menginginkannya juga.
Raja mencari akal membunuh Sidapeksa secara halus dengan menugaskannya mencari emas tiga potong dan benang tiga gelung ke kahyangan. Dibekali sepucuk surat, Sidapeksa pergi ke kahyangan. Ternyata isi suratnya adalah fitnah bahwa si pembawa surat ingin menghancurkan kahyangan. Ia dihajar oleh para dewa penjaga kahyangan termasuk Pandawa Lima. Pada saat kritis ia menyebut sebagai keturunan Pandawa. Ia tidak jadi dibunuh malah dibekali emas dan benang seperti permintaan raja.
Sementara Sidapeksa ke kahyangan, sang raja yakin bahwa Sidapeksa akan mati. Mulailah ia merayu Sri Tanjung. Tapi tidak berhasil karena Sri Tanjung orang yang setia.
Pada saat mengetahui Sidapeksa kembali dan masih hidup, raja mencari akal dengan mengatakan Sri Tanjung telah berbuat serong. Hal ini membuat Sidapeksa kalap dan membunuh isterinya di setra Gandamayu (yang kemudian darahnya berbau wangi).
Dalam perjalanan ke alam arwah, roh Sri Tanjung menaiki ikan sampai bertemu Betari Durga. Karena belum waktunya meninggal, rohnya dikembalikan ke jasadnya dan kemudian Sri Tanjung kembali ke Prangalas.
Mengetahui istrinya tidak bersalah, dengan mencium aroma air wangi, Sidapeksa hampir gila dan hampir bunuh diri. Lagi-lagi Betari Durga datang menolong dan menyuruh Sidapeksa ke Prangalas. Sri Tanjung mau menemui suaminya itu dengan syarat ia berhasil memenggal kepala raja yang akan dijadikan keset. Dengan bantuan orang-orang Prangalas Sidapeksa berhasil mengalahkan raja Sulakrama. Dan keduanya hidup berbahagia. Cerita Sri Tanjung adalah cerita happy-ending bukan berakhir saat Sidapeksa membunuh istrinya yang setia dan darahnya berbau wangi.
Serat Sri Tanjung
Dalam bahasa tulis (sastra), menurut Prof. Poerbatjaraka, Serat Sri Tanjung diceritakan menggunakan bahasa Jawa pertengahan dan ditulis menggunakan aksara carakan. Kira-kira Serat Sri Tanjung ini sesusia dengan serat-serat Dewa Ruci, Sudamala, ataupun Serat Kidung Subrata dan Serat Panji Angreni yang menggunakan bahasa Jawa kuno pertengahan tp kategorinya muda. Anehnya, Cerita Sri Tanjung ini umum ditemukan di sekitar Banyuwangi dan Bali saja, sementara di tempat lain di Jawa tidak ditemukan.
Pada perkembangannya, saat Majapahit berjaya, sudah ada satu dua orang beragama Islam. Jumlahnya semakin banyak terutama di daerah pesisir seperti Tuban, Sedayu dan Gresik. Makin lama makin banyak orang yang memeluk Islam termasuk para intelektual dan keluarga kerajaan. Tumbuh pula sastra berbahasa Jawa yang isinya tentang agama Islam. Juga sastra mulai ditulis menggunakan aksara arab pegon. Sri Tanjung pun akhirnya ada yang ditulis ulang menggunakan aksara arab pegon.
Selain Sri Tanjung juga cerita “serial” yang mendahuluinya yaitu Sudamala, tidak seperti kidung-kidung Jawa lain yang bercerita tentang raja dan kerajaan saja, Sudamala dan Sri Tanjung menampilkan sifat kerakyatan.
Menurut P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan, kisah-kisah seperti ini pada abad 17 sampai 18 khas berada di Blambangan, sebuah kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Meski cerita-cerita tersebut sudah dipahat pada relief-relief candi dari jaman Majapahit.
Almarhum Pak Hasan Ali yang menyusun kamus bahasa daerah Using-Indonesia berkesimpulan bahwa Blambangan merupakan daerah yang kaya karena bahasanya melalui karya sastranya tetapi mengalami kemunduran akibat perang sejak jaman Tawang Alun. Karya-karya “Aliran Sastra Blambangan” ini lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah bahasa yang tertutup dan menyusut menjadi “hanya” sastra lisan. Menyedihkan memang. Karenanya, beliau bergerak untuk melestarikan lewat pembenahan dan revitalisasi bahasa Blambangan (Using).
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : Kalangwan ( P. J. Zoetmulder, ILDEP 1983); Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia (Hasan Ali, DKB 2002); Memperkenalkan Komplek Kapustakan Djawi (Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka, Djambatan 1954);Percandian Panataran (Soeyono Wisnoewhardono, Surya Grafika 1990); );
Editor: Antariksawan Jusuf