Langit Kelabu di Macanputih
Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Jumat, 19 September 2025 07:19 WIB)
- Opini
LANGIT KELABU DI MACANPUTIH
Oleh: M.H. Aji Ramawidi
Mangkatnya Sang Maharaja
Agustus yang lalu, saya menghadiri sarasehan bertema “Gesahne Bengen” di kantor desa Macanputih, Kabat. Saat itu, salah satu tamu undangan yang juga seorang guru Sejarah bercerita bahwa dia kesulitan untuk menunjukkan bukti eksistensi Kerajaan Balambangan dengan raja terbesarnya Tawangalun. Tapi di sisi lain, saya juga sering menemukan konten di internet maupun obrolan warung kopi yang mendiskusikan bahkan memperdebatkan sejarah Balambangan maupun sosok Tawangalun ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana cara kita dapat mengidentifikasi mana yang benar-benar Sejarah dan mana yang hanya cerita rakyat sehingga kita bisa melihat Sejarah secara jernih dan utuh. Saya pernah melakukan studi kecil-kecilan untuk mengukur seberapa-melek orang Banyuwangi akan sejarahnya sendiri? Hasilnya, ternyata sangat minim yang paham, apalagi yang benar-benar paham dan mampu memahamkan. Oleh karena itu perlu kiranya sedikit kita ulas mengenai Sejarah akhir hayat Kangjeng Suhunan Tawangalun, selaku raja agung terakhir Balambangan tersebut berdasarkan data dan sumber Sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kemarin, tepat 334 tahun silam, Kangjeng Susuhunan Tawangalun mangkat. Saat itu, hari masih pagi, tanggal 18 September 1691, ketika terdengar kabar bahwa kesehatan Suhunan Tawangalun yang beberapa hari sebelumnya sakit, telah kian membaik. Beberapa tamu negara yang sudah dijadwalkan menghadap akhirnya diperkenankan menghadap. Di antara tamu-tamu tersebut adalah Kapten Jan Barveld dan Letnan Jan Francen Holsteyn dari Batavia. Mereka tiba di Macanputih sejak tanggal 14 September 1691, dan tanggal 18 mereka dijadwalkan ulang untuk diterima oleh raja.[1] Kedatangan mereka berdua membawa misi kerjasama untuk mengalahkan Untung Surapati, musuh Batavia sekaligus musuh Balambangan.
Dari kedua orang inilah hari ini kita memperoleh keterangan bahwa pada tanggal 18 September 1691, raja agung terakhir Balambangan itu mangkat. Utusan Batavia itu akhirnya tetap tidak dapat menghadap Tawangalun, karena raja yang sudah tua-renta itu kemudian dia meninggal dunia[2] dan mereka tidak sampai mencapai suatu persetujuan.[3]
Istana gempar. Kabar kematian tersebut segera menyebar ke seantero negeri bahkan ke mancanegara termasuk ke Klungkung, Mengwi[4], Pasuruan, dan Kartasura[5]. Penduduk Balambangan berkabung, atas kepergian sang raja agung mereka. Saat itu yang berkuasa di Klungkung adalah Dewa Agung Jambe (1687-1700).
Kesibukan di istana Macanputih-pun dimulai. Pihak keluarga mempersiapkan pemakanam agung untuk sang raja. Selama menunggu waktu pengabenan tersebut, jenazah Kangjeng Suhunan Tawangalun dimakamkan di Meru (bukit) yang letaknya masih di dalam kotaraja Macanputih.
Sementara itu para Saptamanggala segera bersidang untuk menetapkan raja yang baru diantara tiga putra terpilih; Pangeran Patih Sasranegara (Pangeran Senapati), Pangeran Ketha Arya Macanagara, dan Pangeran Adipati Mas Macanpura.
Sati Agung 1691
Setelah dimakamkan dua puluh lima hari, tepatnya pada 13 Oktober 1691, dilakukan kremasi terhadap jenazah raja besar Balambangan tersebut. Kapten Jan Barvelt dan Letnan Jan Franszen Holsteyn menyaksikan sendiri pemandangan yang sangat mencengangkan itu, di mana sebanyak 270 dari total 400 istri sang Maharaja ikut menceburkan diri dalam kobaran api.[6] Menurut Cerita Tutur Suluk Balumbungan, abu jenazahnya kemudian dilarung di pantai selatan dan dibangun Pura Segara.[7]
Dalam tradisi waktu itu, memang adalah kemuliaan bagi seorang istri yang mau mengikuti suaminya ke alam keabadian. Banyak wanita yang dikisahkan dalam berbagai kakawin mengakhiri hidupnya dalam pertunjukan cinta dan kesetiaan, dengan memilih mengikuti suaminya ke ‘dunia lain’ daripada tetap hidup tanpa kehadirannya.[8]
Jika hanya 270 orang dari 400 istri yang ikut melakukan sati, lantas kemana yang 130 orang lainnya. Ada tiga kemungkinan; (1) Mereka sudah meninggal lebih dahulu; (2) Mereka memilih menjadi pertapa; dan (3) Mereka adalah muslimah.
Makam Tawangalun?
Ada cerita rakyat yang beredar di Banyuwangi, namun belum dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Dalam cerita-cerita tersebut diantaranya mengatakan bahwa Tawangalun itu adalah seorang muslim dan tidak mungkin dikremasi. Yang lain mengatakan bahwa Tawangalun itu Moksa atau hilang kea lam kelanggengan beserta jasad/fisiknya.
Bagi yang meyakini muslim dan dimakamkan, hal itu diperkuat dengan adanya beberapa cerita masyarakat mengenai ‘makam islam’ yang disebut sebagai Makam Prabu Tawangalun, dimana di antaranya memiliki nama lain Mas Senepo Handoyokusumo dan bahkan bergelar Syech Abdul Karim. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ketidak-sinkronan antara data sejarah dengan tutur masyarakat di Banyuwangi.
Data Sejarah bahwa Kangjeng Suhunan Tawangalun sebagaimana disebutkan dalam sumber-sumber baik Jawa, Bali, maupun Belanda di atas, dikatakan meninggal dalam usia tua kemudian jenazahnya di-aben (dibakar) dan istri-istrinya ber-sati.
Adanya dua makam Tawangaun di Sraten-Cluring dan di Gombolirang-Kabat, juga sebuah tempat yang disebut monumen berkubah di Mlecutan Gombolirang-Kabat saat ini menjadikan diskursus tentang sosok Tawangalun sepertinya tak akan selesai untuk diulas dalam waktu dekat. Belum lagi jika dengan legawa kita menengok ke sebelah utara desa Macanputih ada Taman Meru di desa Tambong-Kabat, serta di selatan ada Pura Segara Tawangalun di lokasi wisata Pulau Merah-Pesanggaran.
Dengan rendah hati Penulis mempersilahkan sidang pembaca untuk terus menduga-duga.
Bahan Bacaan
C. Lekkerkerker, De Indische Gids, Blambangan.
De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack.
Helen Creese, Perempuan Dalam Dunia Kakawin.
M.H. Aji Ramawidi, Suluh Blambangan,
M.H. Aji Ramawidi, Suluh Blambangan 2.
M.H. Aji Ramawidi, Babad Raja Balambangan VI,
M.H. Aji Ramawidi, Babad Raja Balambangan VII,
Winarsih, Babad Blambangan.
[1]C. Lekkerkerker, De Indische Gids, Blambangan, hlm. 22.
[2]De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack, hlm. 126.
[3]C. Lekkerkerker, De Indische Gids, Blambangan, hlm. 22.
[4]Winarsih, Babad Tawangalun.
[5]De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack, hlm. 127.
[6]C. Lekkerkerker, De Indische Gids, Blambangan, hlm. 23.
[7]Saat ini kita menemukan Pura Segara Tawangalun berada di wisata Pulau Merah, Pesanggaran. Namun pura tersebut adalah pura baru. Apakah pura baru itu didirikan di atas pura lama dari era Tawangalun? Belum ada bukti.
[8]Helen Creese, Perempuan Dalam Dunia Kakawin, hlm. 232 dan 259-261.
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.