Kamus dan Pak Hasan Ali (versi Bahasa Indonesia)
Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Sabtu, 21 September 2019 11:26 WIB)
- Opini
Sebelum menyusun kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, almarhum Pak Hasan Ali pernah galau seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Pada saat bertemu teman akrabnya sastrawan dan pengarang syair lagu-lagu Banyuwangi, almarhum Pak Andang CY, beliau berucap: “Enak kamu Ndang, kalau sudah meninggal sudah banyak yang warisan untuk anak cucu. Kalau aku apa?” Cerita itu saya dengar langsung dari Pak Andang saat bertamu di rumahnya di bilangan Welaran.
Sesungguhnya Pak Hasan Ali sudah mempunyai perhatian besar pada bahasa Using. Ia sudah mengumpulkan kata-kata yang ia dengar dari berbagai pembicaraan orang di mana saja, di terminal, di kebun, di pasar (ia pernah menjadi kepala pasar Rogojampi), apalagi saat ada tanggapan pertunjukan gandrung sejak tahun 1970an. Pak Hasan ini juga pernah menjadi penabuh musik gandrung.
Sebelum tahun 1987 saat ia menjadi ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), ada salah satu orang yang bertamu ke rumahnya dari Universitas Udayana. Namanya Pak Suparman Herusantosa. Datang ke Banyuwangi tujuannya untuk mencari data untuk penelitian disertasinya di Universitas Indonesia, yaitu Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi. Pak Parman berkali-kali bolak-balik Singaraja-Banyuwangi dan selama di Banyuwangi menginap di rumah Pak Hasan di Mangir.
Setiap hari saat Pak Parman di Mangir, dua orang ini tak henti-hentinya mendiskusikan basa Using. Pak Parman lah yang mendorong Pak Hasan Ali untuk mempelajari bahasa Using dengan pendekatan ilmiah, pendekatan yang mengikuti kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan saat membahas sebuah bahasa. Kalau tidak, tidak akan diakui dan akan menjadi bahan gunjingan saja. Memang semua ada jalannya masing-masing.
Pak Hasan pernah bercerita pada penulis, kamus Usingnya itu memang tidak disusun dengan cara yang sudah umum saat seseorang menyusun kamus. Tahun-tahun itu yang namanya komputer belum sebanyak sekarang. Orang yang menyusun kamus, harus menulis sebuah lema pada sepotong kertas yang diberi keterangan lema, artinya, pengucapannya dll, kemudian kartu-kartu tersebut disusun berdasar abjad a-z.
Di ruang belakang rumahnya di Mangir, dekat dapur, di sebelah selatan ada rak buku koleksinya. “Buku-buku saya ini cuma ada buku sejarah dan buku bahasa,” kata Pak Hasan. Saya lebih sering diajak ngobrol di meja di depan rak tersebut. Pak Hasan memperlihatkan caranya menulis kamus. Tangannya di atas mesin tik manual, matanya menerawang dan membayangkan susunan urutan kata/lema dengan mulutnya bergumam,”A a, ana. A, a, anak...A, a anam,” dengan tangannya mengetik di atas mesin tulis hijau merek Olympic yang dibelikan anaknya Emilia Contessa. “Jadi ya memang lama jadinya.”
Entah siapa yang memberitahu, pada suatu hari pak Hasan kedatangan tamu orang Jepang. Ia mengaku dari The Toyota Foundation yang ada di Tokyo Jepang. Pak Etsuko Kawasaki, bertanya-tanya sampai di mana kamus Using-Indonesia yang sedang digarap Pak Hasan. Setelah ditunjukkan, sang tamu beranjak pulang. Tanpa pernah ada pembicaraan lagi. Ternyata tak sampai sebulan, sang tamu kembali dengan membawa uang untuk dibelikan komputer, agar pekerjaan membuat kamusnya cepat selesai.
Tahun 2002, Dewan Kesenian Blambangan menerbitkan kamusnya yang sampai sekarang belum pernah disempurnakan lagi. Kamus Pak Hasan ini hanya mencatat dialek lokal dari tiga wilayah: 1. Banyuwangi Kota 2. Banyuwangi Barat, 3. Banyuwangi Selatan (Rogojampi-Gambiran-Singojuruh). Jadi masih banyak dialek dari tempat lain yang belum tercatat.
Taun berikutnya, ada lagi buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using dan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Using.
Tiga buku ini sekarang menjadi pijakan untuk mengembangkan bahasa Using ke depannya. Misalnya buku pelajaran Lancar Basa Using untuk siswa sekolah dasar dan Paseh Basa Using untuk siswa SMP. Pak Hasan hanya menjabarkan sedikit soal morfologi bahasa Using. Masih banyak ruang untuk dibahas.
Seberapa penting buku-buku ini? Wak Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi pernah mendatangi sebuah acara di Surabaya. Pada kesempatan itu ia bertemu Pak Ajip Rosidi, sastrawan Jawa Barat yang juga mempunyai Yayasan Kebudayaan Rancage yang setiap tahun menganugerahkan karya sastra berbahasa daerah. Pak Hasnan yang juga penulis novel, ingin karya bahasa Using juga diikutkan dalam penganugerahan karya Rancage tersebut.
Pak Ajip cuma bertanya,”Sudah ada perangkat bahasanya? Umpamanya kamus, Tata Ejaan, Tata Bahasa. Kalau belum tidak bisa.” Pak Hasnan langsung terdiam tak lagi berani bertanya.
Setelah semua tersedia, karya sastra sudah ditulis menggunakan bahasa Using, boleh diikutkan pada Rancage tetapi diikutkan pada kategori bahasa Jawa. Sebab Yayasan Rancage menentukan Peraturan Gubernur Jatim hang dijadikan rujukan. Pergub tersebut mengatur hanya bahasa Jawa dan Madura yang bisa diajarkan pada siswa di sekolah di Jawa Timur. Rancage mungkin tidak tahu sebenarnya ada Peraturan Daerah Jawa Timur yang mengatur selain bahasa Jawa dan Madura, bahasa daerah lainnya yang digunakan masyarakat setempat juga boleh diajarkan. Seperti bahasa Bawean, Bahasa Tengger dan Bahasa Using.
Mudah-mudahan di masa depan makin banyak anak Banyuwangi yang mengembangkan bahasa Using.
Antariksawan Jusuf
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.