Sastra Santet dalam Puisi Using (Bagian 1 dari 4)

Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Kamis, 05 Desember 2024 09:20 WIB)
- Opini



Sastra Santet Dalam Puisi Using (Bagian 1 dari 4)

Oleh: Hasnan Singodimayan

Pengantar

Seni budaya Using bersifat sangat empirik di lapangan. Berbicara tentang Seni Sastra, mereka sudah bersastra dalam puisi Wangsalan dan Basanan, di mana saja dan kapan saja. Berbicara musik, mereka sudah bermain musik angklung di atas Paglak (pondok bambu berkaki tinggi di sawah: red), ketika bekerja di sawah dengan alat musiknya yang disebut Angklung Paglak dan anak-anak mereka yang mendengar kemudian bergoyang dan menari. Sambil berdendang dengan sastra wangsalan dan basanan yang kemudian disebut sebagai lagu-lagu daerah yang sarat dengan idiom-idiom.
   Maka lengkaplah sudah lingkar seni budaya di kalangan masyarakat Using di desa-desa. Sebab mereka berperan sebagai Nara Moral dan Mental , yaitu Santet. Sebagian mantranya berbahasa sastra, terutama Santet Umah-umah yang terbatas pada nama tujuh binatang domestik berkaki empat, yaitu Kuda, Kerbau, Sapi, Kambing, Anjing, Babi dan Kambing.
    Dalam idiom Bahasa Using, dinamakan Jaran Goyang, Kebo Bodo, Sapi Lenguh, Wedhus Kelumus, Asu Ason, Babi Kresek, dan Kucing Gorang, dengan masing-masing kegunaannya dan disebut Gelar Pitu. Di samping Santet Bengahan (tungku tanah: red), yang bersifat sangat pribadi, seperti Santet Mbok Sri Tanjung, Santet Jagapati, dan Santet Sukma Ilang.

Sukma ilang, sukma ilang, ilang-ilangan

Sukma ilang, sukma ilang, ayang-ayangan

Sukma ilang, sukma ilang, layang-layangan

        (Sukma hilang, sukma hilang, hilang-hilangan

        Sukma hilang, sukma hilang, bayang-bayangan

        Sukma hilang, sukma hilang, layang-layangan)

Santet itu untuk mengalihkan perhatian orang dan bukan bisa menghilang seperti dugaan kebanyakan orang. Dahulu dipergunakan oleh para pejuang Blambangan untuk mengelabuhi musuh, tetapi sekarang dipergunakan oleh para sopir angkutan umum Banyuwangi, untuk mengalihkan perhatian orang jika memperoleh musibah di tengah perjalanan, sehingga tidak sampai dijadikan bulan-bulanan massa.


2.       Beda Santet dengan Sihir

Mantra Santet sebagai karya sastra, tidak boleh dicatat dalam kajian Mistik, tetapi harus diingat sebab mantranya sangat pendek untuk dihafal. Tetapi sebagai kajian akademik, boleh dan bisa dicatat dan ditulis, tetapi kehilangan nilai mantranya. Sebab mantra santet berbeda dengan sihir.
   Santet masih dalam ranah budaya, tetapi sihir berada dalam ranah Kriminal. Kata Sihir bersumber dari Bahasa Arab “Sahara atau Sahrun” yang bermakna memperdaya. Dengan harakat kasrah ke bawah menjadi kata Sihrun atau Sihir, yang bermakna lebih dari memperdaya, tetapi mencelakakan. Mantra dan huruf Arabnya sulit dibaca yang disebut huruf Raja’, huruf yang ditulis terbalik.
   Mantra Sihir berbeda jauh dengan Mantra Santet yang mengandung banyak nilai Sastra, yaitu sastra wangsalan dan basanan. Sastra Melayu menyebut Mantra Santet itu “Petatah petitih, gayung bersambut” seperti “berkutat sekitar pantat” yang berarti kentut. Tetapi lebih dari kentut, sastra santet jauh lebih jorok, tetapi tidak terasa kata joroknya, sebab dicipta dalam kajian sastra yang cukup indah. Seperti contoh pada Santet Kebo Bodo yang berlatar pada perselingkuhan.


Kebo Budhuh

Kebo budhuh, kebo budhuh

Ya wis dadi jodho

Umah-umah wong loro

Jabang bayi, aja tangi-tangi

Sak jerone wengi

Hang wadon ning njero

Hang lanang sing weruh

Nganteni Seblang subuh

Kebo budhuh, kebo budhuh

        (kerbau bodoh

         Kerbau bodoh, kerbau bodoh

         Ya sudah jadi jodoh

         Rumah tangga berdua

        Jabang bayi, jangan sampai bangun

         Sepanjang malam

         Yang perempuan di dalam

         Yang lelaki tak tahu

         Menunggu seblang subuh

         Kerbau bodoh, kerbau bodoh)

(bersambung)

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Hasnan Singodimayan

Editor: Hani Z. Noor