Sastra Santet dalam Puisi Using (Bagian akhir dari 4)
Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Senin, 09 Desember 2024 09:09 WIB)
- Opini
Sastra Santet dalam Puisi Using (Bagian akhir dari 4).
Ditulis oleh: Hasnan Singodimayan
6. Kucing Gorang
Kemesraan suami istri, tidak berlaku bagi pengantin yang proses perkawinannya diiring oleh kebencian pihak ketiga, yang merasa dirugikan. Pacanya atau BKL-nya dilarikan oleh orang lain. Maka mantra santet Kucing Gorang terus mengiring dalam kehidupannya.
Kucing Gorang
Kucing gorang, umahe rumang
Omonge arang, bisane gorang
Cakar-cakaran, kuku beranang
Hang wadon ya hang lanang
Jabang bayi...........................
Lanang wadon, wetone abang
(Kucing Gorang
Kucing gorang, rumahnya terang
Jarang bicara, bisanya gorang
Cakar-cakaran, kuku memerah
Yang perempuan ya yang lelaki
Jabang bayi..........(diisi nama orang yang dituju)
Lelaki perempuan, terlahir merah)
Karena mantra ini, pasangan suami istri sehari-harinya selalu bertengkar, seperti kucing gorang. Tetapi yang menjadi keheranan masyarakat mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata Pegat atau Cerai. Kemudian tanpa disadari, mereka berdua punya anak yang cukup banyak.
Itulah kenyataan yang berlaku dalam perjalanan sejarahnya, pada masyarakat Using yang berbahasa Using. Baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam bekerja dan kepercayaan. Berbicara dengan power suara yang cukup keras dan ekspresionis, terdengar seperti orang yang sedang marah.
7. Materi Puisi
Berhubung kajian ini terbatas pada kajian sastra, puisi dan budaya, maka yang terkait dengan puisi santet dan sejumlah materinya tidak saya sampaikan secara mendetail, sebab materi yang diperlukan cukup sederhana dan tidak sulit. Bisa diperoleh dari organ tubuh kita. Yaitu, rambut, peluh, ingus, ludah, air susu dan sperma. Wujud kearifan yang disebut Gelar Pitu.
Perlakuannya merupakan perkara yang tabu untuk dibicarakan secara umum di depan umum. Apalagi dalam kajian yang terbatas hanya tentang Sastra Budaya dan Sejarah,
Sejumlah puisi Using, banyak yang tidak tercatat dan tidak tertulis, karena pengertian tabu yang dipersempit sehingga karya sastra klasik berupa puisi mantra, banyak berubah kosa katanya. Akibatnya penyampaiannya yang kurang jelas dan kurang lengkap, atau pernafsirannya yang berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Maka masih diperlukan kajian akademik lanjutan untuk ikut menangani nilai puisi santet itu secara lebih informatif, tidak lagi berkutat sekitar para buyut yang sudah lelap di pusaranya yang jumlahnya cukup banyak: Buyut Cili, Buyut Ketut, Buyut Pitri, Buyut Klasa, Buyut Kuning, Buyut Kopek, dan masih banyak lagi jumlah buyut yang bertebaran di desa-desa adat.
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : Hasnan Singodimayan